JEMY tak pernah tahu bahwa hotel di Marine Park selain memiliki penthouse ternyata juga memiliki butik besar di dalamnya. Toko itu tak ada bedanya dengan butik mahal di mal. Dikunjungi oleh tamu-tamu hotel karena koleksi bajunya sangat up-to-date dan sesuai dengan tren saat ini.
Reyhan, manajer Beau Boutique, datang menghampiri Jemy yang sedang bercermin di samping rak aksesoris.
"Selamat siang. Anda pasti Tuan Jemy. Perkenalkan saya Reyhan." Jemy dan Reyhan saling berjabat tangan. Bertukar senyum dan berkenalan. Rupanya manajer butik itu masih sangat muda dan rupawan. Jemy senang akhirnya ada yang menyambutnya dengan ramah. Tak ada tatapan menilai dan menghakimi dari Reyhan terlebih mereka juga seumuran jadi Jemy merasa lebih santai.
"Halo, Reyhan. Pak Dimas nyuruh aku dateng ke sini." Mendapati Reyhan yang halus, Jemy berusaha untuk berbicara sopan. Ia sedikit salah tingkah dan merasa agak rikuh hingga tak lagi menggunakan elo-gue seperti biasanya. "Boleh aku-kamu aja nggak sih? Canggung banget dipanggil Anda."
Reyhan mengangguk dan tertawa pelan. "Jelas boleh. Kita seumuran kok. Jadi aku panggil Jemy aja, begitu?" Dengan cepat Jemy menganggukkan kepala dan tersenyum lebar. "Oke, kalau gitu kamu mau cari baju yang kayak gimana? Ada acara khusus yang harus dihadiri?"
Jemy mengangguk. "Umm... Jensen ngajak makan malam."
"Makan malam formal?" tanya Reyhan lebih lanjut.
"Kayaknya sih gitu. Soalnya mau ketemu seseorang yang penting."
"Kalau gitu kamu butuh tuksedo. Yuk, sini. Kita cari tuksedo yang sesuai sama selera sepupumu." Reyhan mengajak Jemy menuju lantai dua. Bagian yang di khususkan untuk tamu VIP.
—
Jemy melangkah dengan riang. Senyumnya merekah lebar. Di bahunya tersampir sebuah tas garmen berisi tuksedo yang dipilihkan Reyhan. Tak segan ia mendekati Dimas yang sedang mengajak seorang tamu dari Jepang berkeliling hotel.
"Pak Dimas..." panggil Jemy, berhenti di antara Dimas dan tamunya. Dengan cepat ia menoleh ke orang Jepang di sisi kanan. "Sorry, Mister. But this is important." Lalu beralih lagi ke Dimas.
"Pak Dimas, lihat..." Jemy menunjukkan tas garmennya. "Aku dapet bajunya." Senyumnya lebar ditujukan pada Dimas yang kini mengucapkan beberapa kalimat dalam bahasa Jepang lalu membungkuk sopan pada tamu tersebut. Setelahnya tamu itu pergi, meninggalkan keduanya. Dimas menantap Jemy dengat raut tak berdaya namun dengan senyum yang tak pernah lepas.
"Oops... sorry," kata Jemy kemudian tahu kalau dia telah bersikap tak sopan. Namun, tak lama ia kembali terkekeh. "Dapet bajunya," pamer Jemy senang.
Dimas ikut tersenyum. "Saya kira Tuan Jemy akan langsung memakainya," ucap Dimas sopan meski Jemy jelas-jelas jauh lebih muda darinya.
"Nggak dong. Nanti kusut. Ini mau aku pake ntar malem. Oh, iya, Reyhan juga milihin sepatu. Mau lihat nggak?"
"Tidak perlu, terima kasih. Saya yakin sepatunya pasti bagus."
Jemy maju ke depan, semakin menempel ke Dimas namun pria yang berumur 30-an tahun itu tidak merasa risih atau keberatan.
"Jadi, um... Sekali lagi maaf ya buat tadi. Nggak maksud nyela tapi Reyhan baik banget. Dia nggak ngusir aku pergi dan nggak ngeliat aku dengan tatapan remeh. Dia bahkan nyariin baju sama sepatu yang bagus terus ngebolehin aku nyobain semua. Dan karena itu aku cuma mau bilang makasih. Pak Dimas baik banget... Makasih ya," ucap Jemy memberi sebuah senyum manis yang tulus. Dimas mengangguk sopan lalu membalas, "You're welcome, Mr. Jemy."
Jemy menepuk pelan bahu Dimas seolah membersihkan debu lalu beranjak pergi. Ia bahkan melompat-lompat kecil saking senangnya. Dimas hanya menggeleng sesaat namun sebuah senyum simpul tersemat di bibirnya.
—
Jemy sampai di kamar. Bersamaan saat dia masuk terdengar dering telepon dari ruang tengah. Cepat-cepat ia hampiri telepon itu lalu mengangkat gagangnya.
"Halo?" ucapnya dengan nada ceria.
"Jangan pernah sekali pun elo angkat telepon," sahut suara di seberang sambungan. Suara dalam nan seksi yang membuat Jemy selalu berdebar-debar saat mendengarnya. Ia tersenyum dan membalas, "terus kenapa elo telepon?"
"Lo dah beli baju?" balas Jensen balik bertanya.
Jemy mengangkat tas garmen yang ia pegang lalu mengagumi logo butik yang tertera di permukaannya. "Udah. Tuksedo hitam."
"That's good."
"Gue juga beli sepatu tadi. Kata Reyhan jenis sepatunya Oxford."
"Great. That goes well with a tux. But, Reyhan siapa deh?" kata Jensen. Jemy terkikik pelan lalu menjelaskan kalau Reyhan adalah kenalannya di butik hotel. Jensen hanya terkekeh sebelum melanjutkan dengan ucapan, "oke. Kalau gitu nanti gue tunggu di lobi hotel jam setengah delapan tepat. Jangan telat."
"Hah? Lo nggak naik jemput gue?" tanya Jemy.
Jensen menjawab dengan suara tenangnya. "Ini bukan kencan. Ini bisnis, jadi gue nggak perlu naik buat jemput elo." Baiklah, Jemy paham. Dia hanya basa-basi saja.
"Siap, Sayang. Terus nanti malam kita mau kemana?"
"Le Voltaire. Restoran fine dining."
"Restoran mewah ya? Oke, berhubung elo udah bayar gue, nanti malam kita ketemu di lobi jam setengah delapan pas. Nggak kurang, nggak lebih."
"Good. Thank you very much."
"Okay. See you tonight, Darling..."
"See you." Jensen mengakhiri panggilan.
Di ruang tengah, Jemy menatap sesaat telepon yang ia pegang sambil tersipu-sipu sebelum meletakkan gagang telepon kembali. Ada sebuah desir aneh yang ia rasakan. Tak hanya itu, ia juga merasakan gelitikan di perutnya. Rasanya sedikit tak nyaman tapi menyenangkan.
Sementara itu, di sisi kota yang lain, tepatnya di kantor cabang Jensen Enterprises Kota J, Jensen duduk di kursi kerjanya. Ia tersenyum menatap sederet nomor yang baru saja ia hubungi. Sejurus kemudian, ia berniat untuk mengetuk tombol panggil pada nomor yang sama ketika seorang wanita masuk ke ruangannya.
"Pak, meeting dua menit lagi dimulai," ujar sekretaris Jensen, mengingatkan agendanya hari ini.
"Ya, bentar lagi gue kesana abis satu telepon penting ini." Sekretaris Jensen mengangguk lalu pergi, sementara dia langsung menekan lagi nomor yang baru saja dihubungi.
Telepon di dalam penthouse berdering lagi. Jemy yang baru akan pergi menata belanjaannya langsung menerima panggilan itu. "Halo?" sapanya dengan suara riang yang sama.
"Udah gue bilang, jangan diangkat."
Jemy menahan senyumannya. "Kalau gitu stop nelepon ke sini."
Jensen terkekeh pelan lalu mematikan panggilannya tanpa mengucap apapun lagi. Jemy kembali meletakkan gagang telepon sambil mendumalkan "dasar gila!" dengan senyum yang susah payah ia tahan.
Ternyata bisa juga pria serius yang gila kerja itu bersikap iseng seperti ini. Diam-diam ada perasaan aneh menelusup ke hati Jemy.
—
Dimas sibuk mengawasi seluruh pegawainya menjalankan tugas. Kali ini ia sedang mendampingi seorang resepsionis menerima tamu.
Jemy berlari dengan tergesa-gesa keluar dari elevator dan menghampiri manajer hotel yang baik itu.
"Pak Dimas!" seru Jemy. Dimas melihat Jemy berlarian menghampirinya di meja resepsionis, masih memakai baju terbuka yang sama.
"Ada apa? Bajunya kurang bagus?"
Jemy menggeleng kuat. "Nggak kok. Nggak. Bukan itu. Uh, itu... aku ada sedikit masalah." []
KAMU SEDANG MEMBACA
SCARLET | NOMIN [END]
Fanfiction"Lima puluh juta, enam hari. Dan setelah ini selesai, aku akan melepasmu pergi." - Jensen Lynx, CEO dan pebisnis sukses yang gila kerja mengajak Natanio Jeremy untuk tinggal bersamanya selama seminggu di sebuah penthouse hotel termewah. Pada awalnya...