PUKUL 08.30 keesokan harinya. Langit tak secerah biasanya. Awan mendung menggelayut di seluruh penjuru angkasa. Terdengar suara petir menggelegar dari kejauhan.
Jensen telah berpakaian rapi seperti biasa, sedang berjalan menuju balkon dan mencoba keluar. Di tangannya ada sebuah kotak beludru warna royal blue, kotak kalung berlian yang pernah Jemy pakai saat pergi menonton opera.
Memang benar. Jensen tidak berani keluar melebihi ambang jendela. Ia berdiri di sana dan menatap kotak perhiasan di tangan. Seorang portir mendekat dengan koper barang-barang di kedua tangan.
"Sudah semuanya, Tuan?" tanya si portir.
Tanpa menoleh Jensen menjawab, "Ya. Sudah semuanya."
"Baik, Tuan. Saya akan tunggu di bawah."
"Terima kasih."
Portir kemudian pergi, meninggalkan Jensen sendiri yang masih belum berani melangkahkan kaki hingga ke pagar balkon.
Sementara itu di kamar lain, dua puluh kilo meter dari penthouse, Hazel sedang menatap keluar melalui jendela kamar.
Langit terlihat abu-abu dan rintik hujan telah membasahi kaca jendela. Di tangannya ada sebuah figura kecil berisi fotonya dan Jemy saat tahun baru. Ia pandangi foto itu lalu terkekeh pelan. "Kita kelihatan konyol banget," ucapnya sambil menatap Jemy yang sedang mengumpulkan barang-barang di dekat pintu kos.
"Ayodya, kotanya dingin. Cuacanya aneh, sering berubah-ubah. Udah gitu anginnya juga kenceng..." kata Hazel, mengambil alih sebuah koper dan boneka dari tangan Jemy lalu membawanya menuju pintu.
"Gue bakal pake jaket. Tenang aja," Jemy yang mengenakan kaos putih dirangkap blazer hitam dan celana jeans terlihat kasual. Wajahnya sudah lebih cerah dari biasanya dan ia mewarnai rambutnya pirang.
"Terus lo mau ngapain di sana?" tanya Hazel lagi, belum rela ditinggal pergi. Keputusan Jemy untuk pindah ke Ayodya terasa begitu mendadak. Ia sempat kesal kemarin malam dan pergi meninggalkan Jemy setelah berteriak. Tapi, subuh tadi ia kembali.
Sikapnya terlalu kekanakan namun ia tak bisa menahan Jemy untuk terus tinggal. Ia tak punya kuasa apapun pada hidup sahabatnya. Yang bisa ia lakukan hanyalah jadi pendukung saja.
"Selesaiin sekolah. Lulus paket C terus cari kerja. Pas sekolah dulu nilai gue lumayan bagus," kata Jemy berlalu kembali ke kamarnya, membelakangi Hazel yang kini sedang manggut-manggut. "Gue tahu lo pinter."
"Lo yakin nggak mau ikut gue pindah?" Jemy balik badan, menatap Hazel yang menggelengkan kepala. Kota J adalah hidupnya dan dia sangat puas dengan kehidupannya saat ini. Oleh karena itu, ia merasa dikhianati ketika Jemy tiba-tiba berniat pindah kota.
"Sini..." panggil Jemy. Dengan lari kecil, Hazel mendekati Jemy yang sedang merogoh sesuatu dari saku blazernya. Lalu memasukkan sebuah amplop ke dalam saku jaket denim yang dikenakan Hazel.
"Whoa. Whoa. Apaan nih?" tanya Hazel kaget saat melihat isi amplop itu.
"Ini bagian dari uang beasiswa Jensen Lynx dari bayaran yang gue terima. Gue sering denger elo nyanyi dan elo jelas punya bakat, jadi pakai ini buat ikut les. Gue tahu banget elo pengen terkenal dan jadi singer profesional."
Mata Hazel berkaca-kaca. Di dalam amplop itu adalah sebuah cek yang nominalnya lebih dari cukup untuk ikut kelas menari. Ia tak menyangka sahabatnya akan sebaik ini mendukung sesuatu yang ia jadikan hobi semata.
"Menurut lo gue punya potensi?" tanya Hazel dengan suara bergetar.
"Iya dong. Gue yakin semua orang bakal kesihir. Terpana dan memuja elo sebagai idola mereka," jawab Jemy bangga dengan air mata haru yang menggenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
SCARLET | NOMIN [END]
Fiksi Penggemar"Lima puluh juta, enam hari. Dan setelah ini selesai, aku akan melepasmu pergi." - Jensen Lynx, CEO dan pebisnis sukses yang gila kerja mengajak Natanio Jeremy untuk tinggal bersamanya selama seminggu di sebuah penthouse hotel termewah. Pada awalnya...