JEMY duduk di dalam ruang manajer. Ruangan itu kira-kira sama besarnya dengan kamar mandi di griya tawang yang disewa oleh Jensen. Terdapat satu meja kerja dengan dua kursi tamu di depannya. Sementara untuk Dimas sendiri, ia memiliki kursi kerja dengan sandaran tinggi yang terlihat sangat empuk. Di belakang kursi kerja ada sebuah lukisan besar abstrak. Jemy tak begitu mengerti seni, tapi ia akui lukisan itu bagus. Ruang kerja Dimas bergaya neo klasik lengkap dengan furnitur dan sebuah bar mini.
Jemy duduk di kursi tamu. Sebuah sofa tunggal yang empuk dan nyaman. Tubuhnya seperti tenggelam di dalam kelembutan bahan yang digunakan. Namun semua rasa nyaman itu tidak dapat mengalahkan kekesalannya yang memuncak. Ia bersedekap dan wajahnya cemberut. Sementara Dimas sedang merapikan tanaman bonsainya yang berada di samping meja kerja. Selang beberapa saat, ia kembali mengalihkan perhatiannya kembali pada Jemy.
"Saya Dimas Kairi, manajer The Royal Paradise," ucap Dimas sambil menyerahkan sebuah kartu nama. Ragu-ragu Jemy pun menerima kartu yang diulurkan padanya. "Bisa sebutkan nama Anda?" sambung Dimas.
"Lo maunya siapa?" Jawaban standar yang akan selalu Jemy lontarkan tiap kali seseorang menanyai namanya. Namun kali ini dengan nada ketus yang tidak dibuat-buat.
Sorot mata Dimas tegas, namun suaranya halus. "Siapa nama Anda?" ucapnya dengan senyum terulas.
"Jemy."
"Thank you, Mr Jemy." Dimas mendekat dan berdiri tepat di hadapan pemuda yang sedang kesal itu. Pembawaan Dimas sangat tenang. Penguasaan dirinya begitu baik, namun nada bicaranya serius. Aura wibawa seorang manajer terbaik memang tidak bisa disepelekan. Cukup kuat hingga membuat siapa saja segan. Termasuk Jemy. Ia memang kesal namun tidak berani bicara sembarangan.
"Jadi begini, Tuan Jemy... Di tempat lain, mungkin Anda bebas keluar masuk meski Anda bukan seorang tamu atau Anda sedang bersama teman. Akan tetapi, apa yang terjadi di hotel lain itu tidak akan terjadi di The Royal Paradise. Regulasi di sini adalah mendaftarkan siapa saja yang menginap. Sebagai tamu, kami berharap Tuan Lynx bisa memberi kami pemberitahuan apabila ada tambahan personil. Namun, Tuan Lynx adalah tamu spesial. Dan kami anggap tamu spesial sebagai teman. Oleh karena itu, sebagai teman, kami akan abaikan hal ini. Dan dengan demikian, saya yakin Anda adalah..." Dimas menatap Jemy, menundukkan sedikit kepalanya dan Jemy juga mengikuti gestur itu sebelum menjawab.
"...keluarga?" ucap Dimas memberi sebuah sugesti.
"Ya. Keluarga," jawab Jemy cepat mengerti maksud Dimas.
"Mh-hmm. Saya rasa juga demikian. Jika begitu, Anda pasti..." Dimas kembali menundukkan sedikit kepalanya memberikan isyarat.
"Sepupu...?" sahut Jemy ragu-ragu, mengikuti alur main Dimas.
"Tentu saja. Jadi, ketika Tuan Lynx pergi, kemungkinan besar Anda akan bersama beliau di suatu tempat lain. Namun, saya justru melihat Anda di sini. Tentunya Anda tidak punya 'sepupu' lain di sini, bukan?" Jemy menggeleng patuh. Sikap tegas namun sopan yang Dimas tunjukkan meredakan rasa kesalnya.
"Baik. Dengan begitu kurasa kita sudah saling mengerti. Untuk itu, saya sarankan Anda mengenakan pakaian yang lebih pantas dan rapi. Sudah itu saja yang ingin saya sampaikan." Dimas lalu mendekat untuk membantu Jemy berdiri, namun pemuda itu segera mengoreksi apa yang terjadi. Ia tidak ingin ada orang salah paham lagi tentang penampilannya.
Jemy berbicara cepat. Melupakan sopan santun karena rasa kesal kembali menguasainya. "Pagi ini Jensen nyuruh gue buat belanja dan gue udah pergi ke Rodeo Street. Tapi, nggak ada satu pun orang yang mau bantuin. Mereka ngusir gue gitu aja cuma gara-gara gue pake baju..." Jemy menunjuk penampilannya sendiri. "...kayak gini. Gue punya uang. Lihat! Duit gue banyak tapi nggak bisa gue pake..." ucapnya seraya mengeluarkan dompet dari dalam tas. Rasa kesal kembali membuat dadanya sesak. Suaranya tercekat di tenggorokan akibat menahan emosi yang meluap. "Gue nggak berharap elo mau bantu, tapi gue harus beli baju bagus buat makan malam bareng Jensen." Jemy sudah ingin menangis. Rasa sesak di dadanya terasa sangat mengganggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SCARLET | NOMIN [END]
Fanfiction"Lima puluh juta, enam hari. Dan setelah ini selesai, aku akan melepasmu pergi." - Jensen Lynx, CEO dan pebisnis sukses yang gila kerja mengajak Natanio Jeremy untuk tinggal bersamanya selama seminggu di sebuah penthouse hotel termewah. Pada awalnya...