RASANYA seperti kedapatan durian runtuh. Dalam semalam Jemy mendapat uang berjumlah fantastis plus bonus untuk beli baju. Siapa yang tidak senang? Apalagi ia mendapat perlakuan yang sangat baik pula.
Jensen, pria kaya yang tampan dengan badan dan tenaga luar biasa itu adalah sebuah jackpot. Tak pernah terpikirkan untuk mendapatkan hal semacam ini pada kehidupannya yang sudah rusak. Mimpi kecilnya yang konyol sudah lama ia kubur dalam-dalam. Namun, siapa sangka di Kota Sejuta Mimpi ini, dia bisa bertemu dengan sosok yang telah ia idam-idamkan sejak kecil.
Yah, meski hanya sebentar, enam hari saja, tapi rasanya sudah lebih dari cukup. Uang puluhan juta itu cukup untuk mengubah hidupnya. Ia bisa melakukan hal-hal yang selama ini tertunda.
Jemy gembira. Terlampau gembira. Dan kabar baik ini tidak boleh ia simpan sendiri.
Setelah puas bermain trampolin dengan kasur empuk hotel ia mengambil ponselnya. Menghubungi satu-satunya teman senasib yang sudah ia anggap sebagai saudara sendiri.
"Halo...?" Terdengar suara serak dan malas dari seberang. Itu adalah Hazel, masih tertidur dengan lelap saat Jemy menelepon.
"Gue telepon terus dari semalem kenapa nggak diangkat. Lo kemana aja semaleman?" ucap Jemy sok galak.
"MAK'E???" tanya Hazel kaget. Ia langsung bangkit dan duduk di kasur. Matanya terbuka lebar dan seluruh nyawanya langsung berkumpul jadi satu.
"Jemy ini. Bangun. Gue lagi video call, ege!"
"Oh," ucap Hazel lebih santai lalu menyalakan lampu kamar agar Jemy bisa melihat wajahnya. Di layar ponsel terlihat Jemy juga sedang santai di atas kasur. Hazel meraih segelas kola sisa semalam untuk membasahi kerongkongannya yang terasa kering.
"Lo semalem kemana?" ulang Jemy. Hazel hanya tertawa seperti orang tak berdosa. "Gue party. Lo sendiri di mana sekarang?" Hazel balik tanya. Jemy kemudian bangun, mengubah mode kamera belakang lalu berjalan keliling.
"Gue ada di hotel paling mewah se-ASEAN. Kamar penthouse. Lihat, lihat... Mewah banget anjir. Tuh, kamar mandinya aja gede banget. Lebih gede dari kamar kosan kitaaaa...." kata Jemy sembari memberikan room tour.
"Pamer. Nggak usah vidcall kalau lo cuma mau pamer doang," protes Hazel ketus.
Jemy tertawa senang lalu kembali menuju kamar. Ia merebahkan diri di atas kasur. "Haha, iri kan lo."
"Idih. Najis. By the way, itu kamar siapa? Cowok semalem? Yang pake Audi?"
Jemy mengangguk antusias. Ia memejamkan mata gemas sambil menghentak-hentakkan kaki di kasur. "Iyaaa... Gile tajir banget orangnya."
"Tahu gitu gue embat sendiri semalem. Cih, enak bener elo ya," gerutu Hazel. Derai tawa kembali terdengar dari sisi satunya. Jemy melanjutkan, "dan elo tahu? Dia minta gue buat tinggal di sini selama semingguuuuuuuuu..." Layar ponsel Hazel bergerak cepat. Jemy terlalu antusias hingga ia menggerak-gerakkan ponselnya semangat.
"Terus lo dibayar berapa?" tanya Hazel. Ini adalah hal yang paling penting. Apapun yang Jemy dapat itu hanyalah bonus. Yang paling penting adalah uangnya. Bentuk mentahan sebagai tanda jadi sebuah bisnis.
"Coba tebak? Lo pasti nggak bisa nebak..."
"Berapa? Sepuluh?"
"No. Tebak lagi."
"Lima belas? Boleh juga."
"Lebih."
"Lebih? Berapa? Dua puluh masa?"
"Lima puluh, Hazel. Lima puluhhhhhh."
"Bullshit!" seru Hazel kaget dengan mata membelalak. Kola yang ia minum hampir saja keluar dari hidungnya. Kini wajah kusut itu tampak lebih cerah. "Juta?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SCARLET | NOMIN [END]
Fanfiction"Lima puluh juta, enam hari. Dan setelah ini selesai, aku akan melepasmu pergi." - Jensen Lynx, CEO dan pebisnis sukses yang gila kerja mengajak Natanio Jeremy untuk tinggal bersamanya selama seminggu di sebuah penthouse hotel termewah. Pada awalnya...