play audio pake volume kecil buat latar belakang suara, biar berasa ikutan liat sunset di pantai^^
happy reading.
—
JENSEN termenung. Menatap matahari yang semakin turun mendekati cakrawala. Bentuknya bulat sempurna. Seperti kuning telur yang kaya akan karotenoid, jingga pekat cenderung kemerahan. Mungkinkah matahari itu juga diberi makanan bergizi seperti ayam yang dibesarkan dengan baik? Dengan rumput segar, belalang dan cacing berkualitas hingga bisa semerah itu warnanya?
Tentu saja tidak. Jensen segera menepis pikiran konyol yang tiba-tiba muncul di kepalanya. Sejak kapan ia memikirkan hal-hal tak logis begini? Lagi pula ia tahu betul kenapa matahari terlihat jingga kemerahan saat terbit dan terbenam. Bukan karena makan rumput apalagi belalang.
Pikirannya mengada-ada. Semua ini gara-gara Jemy yang mengajukan pertanyaan aneh. Membuat pikirannya melayang-layang. Mengais ingatan kapan terakhir kalinya ia berdiam diri tanpa melakukan dan memikirkan apapun. Disusul dengan pertanyaan kapan terakhir kali ia menyadari bahwa dirinya sedang bernapas. Setelah melontarkan pertanyaan itu, dengan tanpa ampun Jemy mengocehkan soal pentingnya mindfulness. Omelan itu hanya sebagian yang didengar, karena atensinya pecah memikirkan jawaban atas pertanyaan yang tak pernah terlintas di benaknya.
Jensen sekilas mendengar suara Jemy yang menjelaskan soal manusia seringnya menganggap bernapas sebagai sesuatu yang harus diterima begitu saja. Apa adanya sejak zaman dulu. Manusia sering menyepelekan hal-hal yang kadang sering dianggap remeh karena memang sudah kodratnya manusia hidup itu bernapas. Padahal, saat pertama kali lahir ke dunia, organ yang pertama kali bereaksi dengan keadaan di luar rahim ibu adalah paru-paru.
"Hakikatnya emang manusia itu bernapas. Tapi kita sering lupa kalau bernapas itu sebuah anugrah besar yang penting buat selalu disyukuri. Paling gampang caranya dengan diam dan sadar kalau kita lagi napas. Sadar akan setiap tarikan oksigen dan karbondioksida yang dihembusin keluar. Dengan gitu kita bisa tahu kalau kita hidup. Terus kalau kita tahu udah dikasih kesempatan hidup, kita akan bersyukur. Ngitung hal baik yang nggak sadar udah kita terima. Kayak napas ini. Bayangin kalau kita tiba-tiba dicekik? Apa yang kita lakukan? Pasti struggle nyari oksigen biar bisa napas lagi. Hal-hal kayak gitu yang sering kita anggap sepele dan remehin tapi nyatanya penting banget pas tiba-tiba direbut."
Jemy menatap Jensen yang sedang termangu memikirkan spektrum warna biru dan ungu yang menembus kerapatan molekul gas pada atmosfer bumi. Dua matanya yang sewarna madu, tampak cemerlang diterpa sinar matahari sore.
"Jensen..."
"Hm?" gumam Jensen dengan bibir terkulum rapat.
"Jadi kapan terakhir kalinya kamu sadar kalau kamu lagi napas?" tanya Jemy.
"Barusan," sahut Jensen lirih sambil menendang kerikil kecil di hadapannya keluar gua dan turun ke laut. Ia bisa mendengar gelak tawa renyah dari sampingnya. Tentu saja ia akan ditertawakan. Kalau bukan karena Jemy yang mengoceh panjang lebar soal bernapas tentu dia tidak akan sadar entah sampai kapan. Kesibukannya sebagai seorang CEO benar-benar menyita waktu bahkan sampai ia tak punya waktu untuk tidur.
"Untung kamu ngikutin omonganku. Kalau enggak mungkin sepulang dari kota ini kamu udah jadi zombi." Jemy menopangkan sisi wajahnya ke atas lutut yang rapat ia peluk di depan dada.
Mereka berdua saat ini sedang berada di tempat rahasia milik Jemy. Sebuah gua yang berada di tebing sisi terbarat pantai Marina. Tebing itu tidak terlalu tinggi namun jalanan menuju gua cukup terjal. Guanya juga tak terlalu dalam. Hanya cukup untuk dimasuki oleh dua orang dengan posisi duduk. Tempat rahasia itu memiliki posisi yang sempurna untuk melihat sunset. Tepat mengarah ke cakrawala, antara kaki langit dan garis laut bertemu, tempat matahari tenggelam.
"Dari mana kamu tahu tempat ini?" tanya Jensen mengubah topik pembicaraan.
"Dulu pas aku pertama nyampe kota ini, aku nggak punya uang sama sekali. Jangankan nyewa tempat tinggal, buat makan aja aku nggak ada," ucap Jemy menatap matahari terbenam sambil mengingat masa lalunya. "Terus di hari kedua aku diterima kerja. Jadi tukang cuci piring di salah satu tempat makan di pantai ini. Tapi, tetep aja duitnya nggak cukup buat ngekos. Akhirnya aku jalan-jalan dan nemuin gua ini. Dan di sinilah aku tinggal sampai duitku cukup buat sewa kos. Tapi, puji Tuhan dua minggu kemudian aku ketemu Hazel yang nawarin tinggal bareng dan ngajak aku ke tempat kerjanya."
Jensen mengangguk. Ia tatap sisi wajah Jemy yang bermandikan cahaya jingga kemerahan. Ada perasaan simpati mendalam ketika ia mendengar cerita itu. Dengan perlahan ia elus pelan belakang kepala Jemy yang menerbitkan seulas senyum cantik pada wajahnya.
"Aku masih sering dateng ke sini kalau lagi ngerasa suntuk atau sedih," lanjut Jemy sambil menolehkan wajahnya, bersitatap dengan Jensen.
Sebuah desiran halus menelusup ke hati Jensen saat mata cantik itu menatapnya. Rasanya seperti ia sedang berada di tengah padang bunga dengan angin sepoi-sepoi lembut. Terasa teduh namun menggetarkan jiwa. Apalagi saat iris jelaganya menelusuri wajah Jemy lalu berhenti tepat pada dua belah bibir tipis merah yang nampak lembut dan manis untuk dikecup.
Tanpa sadar, seperti ada suatu kekuatan yang menariknya, Jensen membelai pelan wajah Jemy. Menyingkirkan rambut yang menutupi mata dan berhenti untuk menangkup sisi wajah manis pemuda itu.
Jemy tersadar bahwa jarak wajah mereka semakin terkikis dengan perlahan namun kali ini ia tak mengelak. Mata sayunya lekat menatap. Terkunci pada sosok yang semakin mendekatkan diri, menghapus jarak di antara mereka. Jensen berhenti, menyisakan jeda sebatas jari.
"Boleh?" tanyanya lirih dengan suara rendah. Jemy ingin menjawab namun tenggorokannya tercekat sebab dadanya saat ini serasa terhimpit oleh batu karang. Ia hanya bisa mengangguk pelan sekali. Seluruh raganya membeku kaku meski dadanya panas membara. Dua sensasi yang saling bertolak belakang namun membuatnya senang.
Untungnya saat ini mereka berada di pantai. Cahaya matahari sore bisa menyembunyikan rona wajahnya yang pasti sudah merah padam. Jantungnya berdetak sangat cepat di dalam dada, seolah meledak bersama deburan ombak yang menabrak dinding tebing, saat Jensen memejamkan mata dan memiringkan kepala untuk mengecup bibirnya lembut.
Rasanya tak dapat Jemy gambarkan sebab ini adalah ciuman pertamanya. Bersama Jensen, lelaki yang telah membuatnya jatuh hati.
Bibir keduanya saling bertemu, hingga saat Jensen merasakan Jemy sepenuhnya memberi izin dengan mengalungkan tangan ke leher, barulah bibirnya bergerak perlahan dengan lembut tanpa tuntutan. Mereka pun menyatu dalam tautan penuh perasaan.
Berhiaskan pemandangan matahari terbenam dan iringan debur ombak serta kecupan angin, keduanya terbuai oleh pagutan mesra.
"Aku sayang kamu, Jensen..." bisik Jemy saat ia melepas tautan bibir mereka.
Jensen membalas ucapan itu dengan ciuman yang lebih dalam. Membuai dan memabukkan hingga Jemy kehilangan akal sehat saat lidah lelaki itu mengeksplor lebih jauh. Membuat Jemy melupakan semua pesan Hazel soal melibatkan perasaan dalam pekerjaan.
Saat ujung lidah mereka saling bersentuhan, Jensen meraih tengkuk Jemy dan menariknya semakin dekat dan memperdalam ciuman mereka. Bersamaan dengan itu, Jemy mengeratkan pelukannya dan bergerak naik ke atas pangkuan Jensen.
Semua terasa manis hingga gairah mengambil alih.[]
—
maaf ya kalau cringe. soalnya aku nggak jago bikin kissing scene, masih belajar. semoga chapter ini tetap bisa menghibur kamu. btw, tinggal dikit lagi end. makasih ya udah ngikutin scarlet sampai sejauh ini.
*sungkem*
KAMU SEDANG MEMBACA
SCARLET | NOMIN [END]
Fanfiction"Lima puluh juta, enam hari. Dan setelah ini selesai, aku akan melepasmu pergi." - Jensen Lynx, CEO dan pebisnis sukses yang gila kerja mengajak Natanio Jeremy untuk tinggal bersamanya selama seminggu di sebuah penthouse hotel termewah. Pada awalnya...