26. Cliff

3.8K 382 14
                                    

"KAPAN terakhir kalinya kamu ngelamun?"

Lagi-lagi sebuah pertanyaan aneh. Membuat Jensen tak bisa menahan tawa sebab baru saja mereka bercumbu mesra, tapi pikiran Jemy sudah kembali disibukkan dengan hal-hal acak.

"Kenapa kamu selalu dipenuhi dengan hal-hal nggak terduga kayak gini?" balas Jensen pelan menatap pemuda yang meletakkan kepala di atas dadanya. "Aku nggak pernah ngelamun jadi nggak bisa jawab pertanyaanmu itu. Sori..." imbuhnya seraya mengecup puncak kepala Jemy.

Keduanya berbaring, saling memeluk di atas kain tipis—yang dulu Jemy gunakan untuk alas tidur—sambil menikmati pemandangan indah di luar gua.

"Hm, kalau gitu sekarang aku kasih kamu waktu buat ngelamun. Diem aja, nggak usah mikir apa-apa, oke?" kata Jemy sedikit mendongak untuk melihat Jensen.

"Sorry?" Jensen bergumam bingung.

"Tahu nggak kenapa bapak-bapak suka ngabisin waktu buat mancing?" Jemy membalas dengan sebuah pertanyaan yang semakin membuat kerutan di dahi Jensen terlihat jelas.

"Karena mereka butuh waktu buat ngelamun. Seharian diomelin istri atau bos jelas bikin mereka sumpek. Stres itu harus dikeluarin biar nggak jadi penyakit. Dan cara yang paling gampang buat ngilangin stres dan ngalihin pikiran mereka dari segala masalah hidup ya dengan mancing. Karena bisa ngelamun pas nunggu umpannya dimakan ikan. Ngelihatin air sambil ngerokok dan nggak mikirin apa-apa itu enak tahu..."

Sebelah alis Jensen terangkat. "Oh... berarti kamu sering mancing," komentar Jensen asal tanpa berpikir.

"Ya enggak gitu juga. Intinya ngelamun. Dolce far niente..."

"The sweetness of doing nothing," potong Jensen teringat ucapan Pak Jojo saat membujuknya untuk mengambil cuti entah kapan itu. Tiba-tiba saja bujukan Pak Jojo melintasi benaknya tepat saat Jemy menyebutkan istilah yang sering dipakai oleh orang Italia untuk kegiatan favorit mereka sehari-hari.

"Nah tuh tahu. Kenapa nggak dilakuin?"

"'Cause I'm not an Italian."

Jemy manyun. Tak menyangka akan mendapat balasan seperti itu. "Ya iya sih bener. Ah, kamu ini. Katanya sekolah sampai S tiga, masa gitu aja nggak ngerti sama maksudku?"

Jensen terkekeh senang. Berhasil menggoda Jemy ternyata menyenangkan. Cukup mujarab untuk membuat dirinya terhibur. Apalagi saat melihat bibir merah tipis yang mengerucut dan pipi putih kenyal yang menggembung lucu. Ia ulurkan tangan untuk mencubit gumpalan serupa mochi itu beberapa kali demi merasakan kelembutan kulit putih bersih tanpa cela milik Jemy.

Kesal dengan respon Jensen, pemuda yang sedang cemberut itu akhirnya bangun untuk duduk. "Dahlah. Aku jadi males ngomong sama kamu," katanya ketus. Jensen terkekeh lalu berganti posisi. Ia meletakkan kepalanya di atas pangkuan Jemy, menggunakannya sebagai bantal.

Tak urung, Jemy luluh juga. Tangan pemuda itu pun mengusap pelan rambut Jensen lalu turun ke sisi wajah.

Jensen memejamkan mata, merasakan sentuhan yang membuat tubuhnya jadi terasa semakin ringan seolah melayang di atas awan selembut kapas.

Nyaman. Itulah yang Jensen rasakan. Kombinasi semilir angin sore dan suara deburan ombak menjadi nina bobo yang menenangkan. Apalagi tubuhnya yang telah mencapai pelepasan. Rasanya semakin enteng. Ditambah pula dengan usapan pada kepala dan wajahnya, memunculkan perasaan tak rela saat tangan itu menjauh pergi.

Cepat-cepat Jensen menahan pergelangan tangan Jemy lalu menariknya perlahan untuk kembali meletakkan ke sisi wajahnya. Ia usapkan pipinya pada telapak tangan Jemy beberapa kali dengan mata yang terpejam.

SCARLET | NOMIN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang