28. Living Space

4K 385 25
                                    

DING DONG!

Suara bel pintu kamar penthouse berbunyi. Jemy yang sedang mengemasi barang-barangnya segera mendekat dan membuka pintu. Ada Eric di sana, menyunggingkan senyum yang lebih tepat disebut sebagai seringaian, membuat Jemy merasa tak nyaman.

"Halo, Jemy. Jensen ada?" sapa Eric.

"Jensen belum pulang. Gue pikir dia di kantor," jawab Jemy agak ketus. Tak bisa menyembunyikan ketidaksukaannya pada pria di depan pintu.

"Enggak. Dia udah pulang dari tadi, makanya gue ke sini." Eric menyelonong masuk sebelum Jemy sempat mempersilakan. Ia bahkan langsung berjalan menuju bar dan mengambil botol kristal berisi wiski. "Dia nggak bareng gue. Kalau iya, jelas nggak mungkin dia bakal batalin transaksi milyaran dolar gitu aja. Mind if I have a drink?" imbuhnya sambil menawarkan segelas untuk Jemy. Pemuda itu menggeleng lalu kembali mengemasi barang-barangnya.

"Kalau gitu gue tunggu sini."

"Ya, tunggu aja. Bentar lagi Jensen pulang."

Jemy duduk di sofa, bersila dan mulai memasukkan baju lamanya ke dalam tas. Di belakangnya, Eric duduk di kursi bar, menikmati wiski sambil sesekali melirik ke arah Jemy.

Eric mendengkus geli. Perlahan bangkit dan berjalan mendekati Jemy. "Uh, sepertinya lo salah. Ini kamar hotel, bukan rumah." Eric tersenyum miring. "Dan elo, bukan siapa-siapa Jensen. Suami bukan, pacar juga bukan." Ia kemudian mendudukkan diri di samping Jemy, meletakkan gelas di atas meja dan menyeringai.

"You're a hooker. Yang jago banget by the way. Mungkin kalau kita main rumah-rumahan, gue nggak akan peduli kalau udah kehilangan tender milyaran dolar." Sindiran itu membuat Jemy terkesiap kaget. Apalagi saat Eric mendekatkan diri pada Jemy yang sekarang kelihatan gugup. Tegang, sama sekali tak nyaman dengan situasi ini. Ia bergeser menjauhi si pengacara yang mulai mengulurkan tangan untuk menyentuhnya.

"Tapi, sebagai pengacara sekaligus sepupunya, gue peduli. Dan karena itu sekarang gue marah. Oh, kecuali..." Eric menggantung ucapannya, menyentuh paha Jemy. "...kecuali kalo lo mau main rumah-rumahan sama gue, pergi ke opera dan jalan-jalan bareng ke pantai, mungkin gue nggak bakal marah dan jadi orang yang bahagia. Kayak Jensen..."

"Lepasin gue!" teriak Jemy saat Eric berhasil menyentuhnya. Lalu pergulatan untuk menyerang dan melepaskan diri pun terjadi. Hingga akhirnya Jemy menonjok rahang Eric sampai lelaki itu terhuyung ke belakang.

"Fuck!" salak Eric semakin marah saat rasa tembaga menyeruak di dalam mulutnya. Dengan amarah yang sudah tak terkendali, ia pun mendorong Jemy hingga jatuh ke lantai dan berusaha untuk mencekiknya.

"Come on! I'll pay for it. Lo minta berapa?"

"Lepasin, brengsek!"

Eric semakin kuat menahan tubuh Jemy di bawah hingga sebuah tangan menariknya kasar dari belakang, memaksa agar ia bangun.

"Eric! What the fuck are you doing?!" teriak Jensen. Ekspresi dan rahangnya mengeras. Tatapannya tajam menguliti. Eric berteriak, berontak ingin lepas namun cengkeraman Jensen lebih kuat, menyeretnya menuju pintu.

Jemy yang telah sadar dari syoknya berdiri dengan napas terengah. Kakinya lemas dan tubuhnya gemetar. Ia jatuh di atas sofa dan tak memedulikan perkelahian di ambang pintu kamar.

"ELO YANG KENAPA?!" Eric balas berteriak.

"Stop! Gue nggak mau berantem sama elo. I don't want to hurt you, Eric! Stop it!" sahut Jensen dengan suara yang melunak.

Wajah Eric semakin keruh. Matanya nyalang menatap Jensen. Ia makin berontak dari cengkraman Jensen yang jelas lebih kuat. Ia hanya bisa berteriak. "You already did, Jensen! Sebenernya elo tuh kenapa? Cuma gara-gara pelacur—"

SCARLET | NOMIN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang