JEMY tertidur di kasur. Tengkurap, dengan rambut acak-acakan dan selimut yang menjuntai ke bawah. Sebagian tubuhnya terpapar pendingin ruangan, namun sepertinya itu sama sekali bukan masalah. Ia tetap bisa tidur dengan nyenyak. Bermimpi sedang berendam di sebuah kolam pemandian air panas.
"Bangun, Jemy. Saatnya belanja." Suara rendah yang begitu ia kenal menembus alam mimpinya. Disusul dengan sebuah cahaya yang menyilaukan. Ia mengerutkan dahi. Merasa terganggu. Cahaya tersebut berasal dari mentari pagi yang sinarnya masuk melalui jendela. Tirainya telah tersibak. Sinarnya tumpah ruah, agak menyengat. Sebuah nilai plus menyewa kamar di lantai tertinggi; pasokan melimpah sinar matahari. Dan itu cukup mengganggu ketenangan Jemy 'menikmati masa-masa santainya' di dalam mimpi. Pelakunya tentu si maniak kerja yang tak pernah tidur. Tak lain dan tak bukan, Tuan Jensen Lynx.
"Yo, Mister... Silau," keluh Jemy dengan suara serak. Meraih sebuah bantal untuk menutupi wajahnya. Berlindung dari sinar surya yang serasa menusuk-nusuk kelopak mata.
"It's Jensen." Ucapan Jemy dikoreksi. Jensen memang biasa dipanggil dengan sebutan mister, tapi selalu diikuti dengan nama belakangnya, Mr. Lynx. Beda kalau hanya dipanggil mister saja. Apalagi oleh Jemy. Rasanya panggilan itu ditujukan sebagai bentuk cemoohan. Cara Jemy untuk mengekspresikan sebuah protes.
Jemy menggeliat sambil menggaruk pelan dahinya. "Udah waktunya bangun. Ayo, siap-siap." Jensen duduk di tepi kasur. Ia elus pelan rambut Jemy. Namun, kasur terasa lebih nyaman. Daya tariknya lebih besar, membuat Jemy tak bergeming.
"Let's go." Jensen mengambil paksa bantal yang menutupi wajah Jemy. Dibuangnya benda itu ke samping agar tak diambil lagi.
"Jam berapa ini?" Jemy balik badan menghadap Jensen. Matanya terbuka sebelah, berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk. Ia rapatkan selimut ke tubuhnya yang tanpa busana. Jensen merapat ke tubuh itu sambil mengusap lembut kedua mata Jemy dengan ibu jarinya. Wajah mereka begitu dekat, tetapi seperti sudah terbiasa, mereka tak merasakan apapun selain perasaan familiar hangat. Layaknya pasangan lama yang sudah lazim berdekatan.
"Sembilan."
"Baru jam sembilan. Aku mau tidur lebih lama lagi," kata Jemy keberatan. "Kenapa kamu udah rapi banget? Kamu bangun jam berapa?"
"Jam enam," jawab Jensen menyibakkan poni Jemy ke belakang.
"Yang bener aja. Kita baru selesai main jam empat pagi. Kenapa kamu nggak tidur lagi aja sih?" Jensen tersenyum simpul seraya menggelengkan kepala. "Aku harus kerja."
Jemy membuka mata, melihat Jensen yang sudah berpakaian rapi dan wangi. Minus dasinya yang masih dikalungkan begitu saja. Ia lalu bangun dan duduk dengan benar. Menggelengkan kepalanya pelan untuk menyadarkan diri. Tangannya terulur untuk mengikatkan dasi Jensen dengan rapi.
"Mandi. Siap-siap. Kamu harus belanja lagi. Aku heran, kenapa kemarin kamu cuma beli satu baju doang." Jensen menyodorkan sebuah kartu kredit warna hitam. "Pakai kartu ini buat belanja. Kalau ada masalah telepon hotel aja. Oke?" kata Jensen memberi instruksi.
Wajah Jemy berubah cemberut. Ia rebahkan lagi tubuhnya ke kasur. "Belanja lagi?" ucapnya lesu. Tak bersemangat. "Nggak suka belanja." Muncul kerutan samar pada dahi Jensen. Ada yang salah. Untuk orang seperti Jemy, belanja pasti jadi salah satu hal yang membuatnya senang. Siapa sih yang tidak senang menghabiskan uang? Apalagi uang dari orang lain.
"Kenapa nggak suka?" tanya Jensen.
"Nggak seseru kayak yang aku kira," jawab Jemy lirih dengan nada merajuk.
"Kok gitu?"
"Mereka jahat sama aku."
"Jahat? Sama kamu?" Jensen tampak terkejut saat Jemy memberinya anggukan kecil dengan bibir cemberut.
KAMU SEDANG MEMBACA
SCARLET | NOMIN [END]
Fanfiction"Lima puluh juta, enam hari. Dan setelah ini selesai, aku akan melepasmu pergi." - Jensen Lynx, CEO dan pebisnis sukses yang gila kerja mengajak Natanio Jeremy untuk tinggal bersamanya selama seminggu di sebuah penthouse hotel termewah. Pada awalnya...