KEESOKAN paginya, Jensen telah rapi dengan setelan jas sehari-hari. Duduk sendirian di meja makan. Di hadapannya ada sebuah piring berisi sarapan yang masih sisa setengah.
"Mikirin apa sih sampe sarapannya dianggurin gitu?" Jemy muncul, mengalungkan tangan dari belakang, masih mengenakan jubah tidurnya.
"Good morning," sapa Jensen menolehkan kepala untuk mengecup singkat pipi Jemy.
"Pagi. Kamu ketagihan ngelamun ya?"
Terdengar kekehan rendah. "Nggak. Bukan gitu. Aku cuma lagi kepikiran hari ini malam terakhir dan akhirnya kamu bisa menyingkirkanku besok." Jensen meletakkan garpu dan pisaunya. Meraih tangan Jemy dan menuntun pemuda itu untuk duduk di kursi.
"Urusanku di kota ini hampir selesai. Besok aku balik ke Jiran." Jemy termenung. Ekspresinya hampir tak berubah tapi Jensen bisa menangkap sorot sedih pada binar mata itu. "...aku pengen bisa ketemu kamu lagi."
Jemy tersenyum. "Beneran?"
"Ya. Aku pengen ketemu lagi sama kamu, jadi aku udah siapin apartemen di dekat sini. Kamu juga akan punya mobil dan berbagai..." Raut wajah Jemy kini berubah. Jensen menawarkan sebuah impian yang selama ini ingin dia miliki namun entah kenapa hatinya tiba-tiba merasa sakit. "...toko maupun butik dijamin bakal ngelayanin kamu kapan aja. Semuanya udah beres—"
Jemy menghela napas, memejamkan mata sekilas dan menopang dahinya sebentar lalu menatap Jensen. "Terus apa? Ninggalin uang di kasur pas kamu pergi?"
Jensen tertegun sesaat di tempatnya. Tak menyangka akan mendapat respon seperti itu dari Jemy. Perkataan itu terdengar begitu sedih. Ia sama sekali tak bermaksud demikian. Jemy telah salah mengartikan niat baiknya.
"Jemy, aku nggak akan kayak gitu ke kamu..."
"Terus kayak gimana?" potong Jemy dengan nada sedih yang semakin kentara. Ucapan Jensen lagi-lagi melukai hatinya.
"Aku cuma nggak pengen kamu hidup di jalan lagi."
"Itu cuma masalah tempat. Nggak ada bedanya kalau kamu cuma nganggep aku sebagai pelacur."
Jensen berusaha menyakinkan Jemy dengan menatap matanya. Namun, pemuda itu telah lebih dulu mengalihkan pandangan keluar jendela dan tak lama kemudian berjalan menuju balkon. Jensen hanya memandangi punggung yang menjauh darinya.
Jemy terdiam. Beberapa detik kemudian ia menunduk dan mencondongkan tubuh bagian atasnya melewati pagar balkon untuk melihat ke bawah. Jensen langsung berdiri dan mendekat namun hanya berani sampai jendela.
"Jemy..."
"Hm?"
"Kamu ngapain? Balik sini," kata Jensen dengan penekanan di akhir kalimat. Tak ada respon sama sekali. "Apa yang kamu mau dari hubungan kita?—tsk, stop ngelakuin itu. Aku takut kamu jatuh," sambungnya saat melihat Jemy semakin membungkukkan badan melewati pagar.
"Natanio Jeremy..." panggil Jensen. Memberi penekanan pada setiap nama yang ia sebut.
"Hm... Entahlah. Aku sendiri juga nggak tahu." Akhirnya Jemy buka suara. "Pas aku masih kecil, Mamaku sering ngunciin aku di loteng kalau nakal. Terus, aku bakal berimajinasi kalau aku adalah seorang putra mahkota yang dikurung sama penyihir jahat. Awalnya jelas aja aku berontak, tapi karena terus-terusan gagal akhirnya aku nyerah dan berandai-andai kalau saja ada orang yang datang nyelametin aku..."
Jensen terdiam, mendengarkan penuturan Jemy penuh perhatian dan rasa was-was sebab pemuda itu terus saja membungkukkan badannya ke pagar beulang kali.
"...terus muncullah seorang ksatria ini dengan kuda putih besar dan pedang di tangan. Ia dengan gagah berani menentang si penyihir lalu dateng buat nyelametin aku." Jemy akhirnya berdiri lalu balik badan menatap Jensen yang diam-diam menghembuskan napas lega. "Tapi... nggak pernah sekali pun aku mimpiin ksatria ini bilang 'ayo, Sayang, aku akan beliin kamu sebuh apartemen di kota besar'. Sama sekali nggak pernah," kata Jemy mengakhiri ucapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SCARLET | NOMIN [END]
Fanfiction"Lima puluh juta, enam hari. Dan setelah ini selesai, aku akan melepasmu pergi." - Jensen Lynx, CEO dan pebisnis sukses yang gila kerja mengajak Natanio Jeremy untuk tinggal bersamanya selama seminggu di sebuah penthouse hotel termewah. Pada awalnya...