"HARUSNYA kamu pecahin dulu yang merah baru tiga biru di kiri pasti dapet bomnya," kata Jensen saat melihat jari telunjuk Jemy yang berhias cincin perak mengetuk tiga balon satu warna pada layar ponselnya.
Keduanya sedang bersantai di sofa depan TV. Jemy duduk di pangkuan Jensen, bersandar nyaman pada tubuh yang memeluknya dari belakang. Sudah setengah jam lamanya mereka berdiam diri di sana sepulang dari Jiran. Dengan gim match three yang dimainkan oleh Jemy. Jensen hanya melihat saja, sesekali mengomentari langkah-langkah yang diambil oleh pemuda di pelukan. Pakaian mereka masih lengkap, kecuali Jemy yang sudah bertelanjang kaki. Sepatu Oxford-nya tergeletak di dekat pintu masuk.
"Yahhh, padahal tadi ada lima biru di kiri," kata Jensen.
"Gimana kalau kamu aja yang maen?" gerutu Jemy sambil mendongakkan kepala, menatap Jensen yang malah mengacak rambutnya. Sudah tiga permainan ini semua keputusannya dikomentari, namun tiap kali Jensen ditawari untuk main selalu menolak.
"Maaf... maaf," ucap Jensen diselipi tawa halus. "Itu main lagi. Tapi, ini yang terakhir ya. Lanjut besok. Sekarang udah jam dua dan aku harus ngantor pagi."
Fokus Jemy telah kembali pada layar yang menunjukkan bola warna-warni. "Kerja terus kamu nggak capek? Kalau sehari nggak kerja gitu emangnya perusahaan kamu bakalan bangkrut?"
"Ya enggak dong..."
Jemy tiba-tiba bangun, duduk tegak, meninggalkan posisi nyaman di pelukan Jensen untuk melihat wajah pria itu dengan lebih jelas. Ponsel sudah ia matikan. Perhatiannya kini tertuju pada jawaban apa yang akan diberikan oleh si maniak kerja. Dan demi apapun Jemy berani bertaruh kalau Jensen pasti jarang sekali, nyaris tidak pernah cuti atau berlibur dari pekerjaannya.
"Kalau gitu besok kamu cuti aja gimana? Kita main ke taman kota atau pantai. Masa udah jauh-jauh ke kota ini kamu sama sekali nggak ke pantai. Padahal pantai di Marine Park terkenal banget. Besok aku ajak ke tempat rahasiaku kalau kamu ambil cuti. Gimana?" Mata Jemy menatap serius. Tak memberikan Jensen kesempatan untuk menolak. "Coba sekarang aku tanya, setahun kamu cuti berapa kali?"
Bukannya menjawab, Jensen justru terkekeh pelan seraya menggelengkan kepalanya. Matanya menyipit seiring dengan sudut bibir yang semakin tertarik membentuk garis lengkung dalam.
"Tuh kan bener. Kamu terlalu gila kerja. Fanatik banget sampai nggak manfaatin jatah liburan. Bahkan, kamu terlalu keras, terlalu rajin ngelebihin karyawanmu sendiri," omel Jemy dengan wajah yang makin serius. Dahinya telah berkerut-kerut membuat Jensen tak kuasa menahan dirinya untuk tidak mencubit pipi yang tampak seperti kue mochi itu. Bulat, putih, halus dan kenyal.
"Aku nggak kerja?" tanya Jensen lebih untuk dirinya sendiri. Jemy menganggukan kepala kuat-kuat, sangat serius.
"Feels weird, but..." Jensen menatap lekat-lekat raut wajah Jemy, ingin menikmati ekspresi yang tercetak pada wajah itu lalu melanjutkan perkataannya, "...tapi kamu bener sih. Aku 'kan yang punya perusahaan. Jadi, ayo deh."
—
Cuaca keesokan harinya sangat cerah. Langitnya bersih tanpa awan. Biru cemerlang, cerminan laut cantik di bawahnya. Disempurnakan dengan mentari pagi yang tidak begitu menyengat. Sinarnya hangat. Nyaman untuk berjemur. Tapi, semua hal yang patut disyukuri itu sama sekali tidak menarik untuk Eric yang saat ini sedang cemberut di kantornya. Barusan, sekretaris Jensen memberi tahu kalau CEO mereka tidak berangkat hari ini.
"Cuti? Seorang Jensen Lynx cuti?" San memekik kaget.
Sekretaris mengangguk. "Pak Jensen bilangnya begitu." Lalu pamit pergi meninggalkan Eric yang mengamuk. Beberapa kali ia coba menghubungi Jensen. Tak ada jawaban. Teriakan frustasi ia lepaskan karena Jensen jadi seperti bos yang semena-mena, tiba-tiba ambil cuti ketika proyek mereka sudah semakin dekat dengan garis finish.
KAMU SEDANG MEMBACA
SCARLET | NOMIN [END]
Fanfiction"Lima puluh juta, enam hari. Dan setelah ini selesai, aku akan melepasmu pergi." - Jensen Lynx, CEO dan pebisnis sukses yang gila kerja mengajak Natanio Jeremy untuk tinggal bersamanya selama seminggu di sebuah penthouse hotel termewah. Pada awalnya...