"NAMA lo siapa?" tanya Jensen saat mereka berhenti di lampu merah.
"Lo maunya siapa?" goda Jemy, balik bertanya. Pria di sampingnya hanya menatap dalam diam. Menarik kedua sudut bibirnya membentuk garis lengkung tipis menuntut jawab.
"Jemy. Natanio Jeremy," ucap Jemy kemudian. Biasanya ia tidak pernah memberikan nama aslinya pada siapa pun yang bukan teman dekat. Ia akan selalu memilih acak atau memakai nama yang diberikan oleh para tamunya. Tapi, tidak ketika Jensen memberikan sebuah tatapan menuntut agar ia menjawab jujur. Meski disertai senyum tipis, tapi sorot mata Jensen berkata sebaliknya. Aura dominan terpancar kuat melalui kedua manik jelaga yang sangat jernih itu.
"Jemy," ulang Jensen lirih cukup untuk di dengar si pemilik nama. Kali ini dengan sorot mata yang lebih bersahabat. Dengan eye smile yang hangat.
"Hijau," sahut Jemy kemudian, ketika lampu lalu lintas telah berubah warna. Jensen menarik tuas persneling dan melepas pedal kopling pelan-pelan. Kali ini sudah lebih mulus dibandingkan sebelumnya. Tanpa tersendat, tanpa berhenti.
"Jadi, lo mau kemana?" tanya Jemy, menoleh ke samping. Menatap Jensen sekaligus mengagumi interior mobil mewah yang ia tumpangi. Dia bahkan berdecak kagum pelan saat jemarinya menyentuh tekstur lembut kursi kulit yang ia duduki.
"The Royal Paradise Hotel, Marine Park."
Jemy bersiul rendah. Iri dan kagum jelas tercetak pada parasnya yang tampak lebih tua daripada umur Jemy yang sebenarnya.
Pertama Audi R8 dan sekarang The Royal Paradise, hotel termewah se-Asia Tenggara. Kira-kira sekaya apa lelaki di sampingnya ini?
"Lurus aja sampai bundaran itu ke kiri ambil jalur ketiga."
Jensen menganggukkan kepala lalu memasukkan gigi ketiga dan berjalan dengan kecepatan 70. Jemy melirik penanda kecepatan digital di balik stir kemudi.
"Sayang banget cuma tujuh puluh," gumam Jemy.
"Pardon?" tanya Jensen dengan dahi berkerut. Ia menoleh ke arah Jemy sekilas yang ternyata juga sedang menatapnya. Pemuda itu merubah posisi duduk jadi miring, menghadap Jensen sepenuhnya.
"Ini bukan mobil lo, ya?" selidik Jemy. Sebuah anggukan kecil ia dapat sebagai jawaban. "Lo nyolong di mana?" Sebuah tuduhan terlontar begitu saja dari mulut Jemy.
"Punya sepupu gue."
"Ah, pantes lo nggak ngeh. Mobil ini tuh akselerasi kecepatannya dari nol sampai seratus kilo perjam cuma butuh waktu tiga detik," kata Jemy tenang meski kilat matanya jelas memancarkan antusiasme. "Ntar coba aja kalau udah di tol."
"Lo tahu soal mobil?"
"Ya bisa dibilang gitu."
"Dari mana?"
"Surya Autozone. Bokap gue punya bengkel. Dan di rumah banyak mobil-mobil bekas kayak Chevrolet, Corvettes, Ford. Semacam itu."
Jensen manggut-manggut, menyimak cerita Jemy.
"Bokap beli murah, dibenerin terus dijual lagi dengan harga yang jauh lebih tinggi. Apalagi mobil-mobil gitu nggak bisa masuk sampai sini kalau bukan punya orang berduit yang sanggup bayar pajak gede. Dan gue sering bantu-bantu jadi ya lumayan pahamlah soal mobil. Meskipun nggak punya. Makanya agak aneh pas ngeliat cara lo nyetir begini. Kalau elo yang punya mobil ini, pasti pengennya ngebut terus."
Sebentar lagi mereka akan memasuki jalan tol yang membentang hingga Marine Park. Jensen menurunkan kecepatan saat berhenti di lampu merah sebelum masuk ke gerbang tol.
"Mobil pertama gue limosin," ujar Jensen. "Plus supirnya."
"Oh," sahut Jemy terkejut. Selera orang kaya. Jemy kemudian mengamati Jensen sekali lagi. Dari penampilannya jelas kalau dia memiliki pekerjaan yang prestisius dengan penghasilan fantastis.
KAMU SEDANG MEMBACA
SCARLET | NOMIN [END]
Fanfiction"Lima puluh juta, enam hari. Dan setelah ini selesai, aku akan melepasmu pergi." - Jensen Lynx, CEO dan pebisnis sukses yang gila kerja mengajak Natanio Jeremy untuk tinggal bersamanya selama seminggu di sebuah penthouse hotel termewah. Pada awalnya...