21. Bed Chamber

4.2K 414 13
                                    

"KAMU kenapa?" tanya Jensen saat ia membuka pintu penthouse. Jemy berjalan lebih dulu, langsung menuju kamar dengan wajah masam. "Hm, aku nggak pa-pa."

"Great. Tujuh kali 'nggak pa-pa' sejak kita pulang. Apa ada kata lain?" sahut Jensen, mengekori Jemy di belakang. Ia meletakkan tas dan melepas jasnya.

"Brengsek!"

Jensen menatap punggung pemuda yang kini masuk ke dalam closet room. "Hmm, aku lebih suka 'nggak pa-pa'..."

Jemy kembali ke kamar, mendekati Jensen dan berkata dengan nada kesal yang tak dapat ia tahan lagi. "Coba bilang. Kenapa kamu suruh aku ganti penampilan?"

"Pakaian itu cocok buat kamu, Jemy."

"Nggak... Maksud gue... Kalau elo mau semua orang tahu gue ini pelacur, kenapa gue nggak boleh pake pakaian gue sendiri. Dengan pakaian itu, gue bisa siap ngadepin orang-orang macem Eric yang godain gue."

Tangan Jensen yang sedang melepas kancing lengan kemejanya terhenti. Sebuah perasaan tak enak menelusup ke rongga dadanya. Tanpa penjelasan lebih lanjut pun ia tahu kalau sepupu dari pihak mamanya itu pasti telah berbuat sesuatu yang membuat Jemy marah.

Pemuda itu telah kembali menuju closet room sambil mengentakkan kaki. "Kenapa nggak sekalian lo kasih tahu ke semua orang yang tadi dateng kalau gue ini pelacur murahan? Eric deketin gue dan ngajak gue maen bareng setelah elo pergi dari kota ini."

Jensen menghampiri Jemy, mencekal pergelangan tangannya lalu membalik perlahan tubuh yang sedang bergetar karena emosi.

"I'm so sorry..." ucap Jensen tulus, sadar bahwa ia telah melakukan sebuah kekeliruan. Perhitungannya telah salah dan hal itu membuat Jemy tak senang. "Aku nyesel banget udah cerita ke Eric. Dia paranoid dan ngira kamu mata-mata."

"Oh, sekarang lo udah ganti profesi jadi mucikari, hah? Lo pikir, elo bisa minjemin gue ke siapa pun yang lo mau? Gue bukan mainan lo, Jen!" teriak Jemy kesal, menghempaskan kasar tangan Jensen.

"Aku tahu. Kamu bukan mainanku." Jensen menyusul Jemy yang berjalan keluar menuju kamar mandi. "Jemy! Jemy, aku lagi ngomong sama kamu. Balik sini!" Pemuda itu kemudian berhenti di depan pintu kamar mandi, berdiri di undakan tertinggi berkacak pinggang, menatap Jensen dari atas.

"Aku nggak suka bilang ini, tapi emang gitu kenyataannya. Kamu kerja di Palong. Dan saat ini lagi kerja sama aku. Kamu pegawaiku sekarang," kata Jensen.

"GUE BUKAN MILIK LO!" Jemy berteriak semakin kencang. "Gue sendiri yang nentuin mau sama siapa dan kapan. Bukan elo!"

"Aku nggak mau berantem sama kamu. I said I was sorry. And I mean it. Kita akhiri pembicaraan ini. Oke?"

"Gue nyesel ketemu sama elo. Gue nyesel masuk ke mobil lo." Jemy masuk ke dalam kamar mandi. Mengambil beberapa barangnya lalu pergi keluar, menuju closet room diikuti Jensen yang kemudian melepaskan dasinya kasar di depan meja rias.

"Gue belum pernah ngerasa sehina ini, Jensen." Jemy keluar membawa setumpuk baju-baju yang ia ambil dari dalam lemari. Berjalan ke arah kamar dan mengambil tas bututnya yang ia selipkan di antara nakas dan kasur.

"Kamu mau kemana?" tanya Jensen saat melihat Jemy berjalan tanpa alas kaki menuju pintu dengan baju-baju di tangan.

"Pergi."

"How come you leave me? We still have three days," kata Jensen. Suaranya sudah tak setenang tadi. Meninggi meski tidak sampai berteriak. Emosi membara mulai membakar dadanya. Ia berjalan menyusul Jemy, menahan pintu agar pemuda itu tak meninggalkannya.

Jemy terdiam lantas mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Cepat-cepat ia mengetikkan sesuatu. Dan tak lama kemudian, ponsel Jensen berbunyi pelan.

"Gue udah balikin sisa duit lo. Sekarang, minggir!" teriak Jemy dengan mata tajam menusuk. Jensen terdiam menatap layar ponselnya. Ekspresinya tak dapat Jemy artikan. Namun yang pasti pria itu tak lagi menghalangi pintu, dan Jemy pun pergi.

SCARLET | NOMIN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang