SEPERTI biasa, sore itu Dimas sedang menyapa satu persatu tamu hotel ketika seorang lelaki berjalan cepat melintasi lobi. Pria dengan setelan jas warna biru itu melenggang dengan kepala tegak dan sebelah tangan berada di dalam saku celana. Begitu percaya diri. Di belakangnya ada dua staf hotel yang kedua tangannya penuh dengan tas belanja.
Tidak seperti yang kemarin Dimas lihat, aura lelaki tersebut lebih cerah dan terasa berbeda. Tanpa sadar sebuah senyuman bangga muncul di bibirnya, mengundang tanya dari beberapa staf hotel sedang di dekatnya.
"Pak Dimas kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Dennis.
"Nggak apa-apa." Dimas kembali melihat ke arah Jemy yang sedang melangkah ke dalam elevator.
Sementara itu sesampainya di penthouse, Jemy menghela napas lega ketika melihat banyak kantong belanja di letakkan di atas sofa ruang tengah oleh staf hotel. Tanpa pikir panjang, ia mengeluarkan dua lembar uang warna merah lalu memberikannya kepada dua orang staf hotel yang telah membantunya.
Senyumnya lebar. Terlihat sangat puas karena kali ini ia tidak lupa memberikan tip. Rasanya menyenangkan. Menjadi orang kaya ternyata menyenangkan. Ia bisa memberikan uang pada siapa pun yang ia mau tanpa memikirkan berapa nominalnya.
"Hmmh... I feel good," gumamnya sambil berkacak pinggang. Menatapi semua kantong belanja itu lalu beralih ke balkon. Ia keluar, menghirup udara banyak-banyak dengan suasana hati berbunga. Dipandanginya lukisan alam yang terbentang di kejauhan. Kalau bukan karena Jensen tentu ia tak bisa berada di tempatnya sekarang. Untuk itu ia tiba-tiba mendapat sebuah ide. Momen bersyukur itu kemudian mendorong Jemy untuk melangkah menuju telepon yang ada di atas meja kecil di ruang tengah.
—
"Baik, rapat siang ini selesai. Pastikan semua berjalan sesuai dengan yang sudah kita sepakati. Jonathan atur waktu temu dengan Amaya jam dua." Eric mengakhiri rapatnya ketika Jensen memasuki ruangan. Seluruh asisten Eric keluar. Dengan wajah berseri, ia hampiri sepupunya.
"Lo bener soal SHI. Johnny Seo ternyata ngegadaiin asetnya ke bank buat dapet pinjaman," ucap Eric bersemangat. Terlihat jelas bahwa ia sangat senang hari ini. Berbanding terbalik dengan Jensen yang tampak lesu dengan wajah lelah. "Dan bank yang kasih pinjaman bukan sembarang bank. It's Centurion!"
"Mhm..." sahut Jensen tak acuh.
Eric melanjutkan ucapannya. Ingin segera melaporkan hasil temuannya soal SHI. "Bisnis lo lebih penting buat Centurion dibanding SHI. Dan yang perlu lo lakuin sekarang tinggal telpon mereka," kata Eric antusias seraya mendorong pelan telepon kantor ke hadapan Jensen.
"Hmm, ya." Jensen tak bersemangat. Ia hanya menjawab sekedarnya dan lebih tertarik untuk memainkan pendulum hias yang ada di dekat kalender.
Hening.
Eric tak melanjutkan ucapannya. Ia terdiam mengamati Jensen lekat-lekat. Sepupu sekaligus bosnya ini tampak aneh. Sudah beberapa hari dia seperti bukan Jensen yang dikenalnya.
Dengan gerakan kasar, Eric berdiri lalu mengusap wajahnya sambil berkacak pinggang. Ia tatap Jensen frustasi. Sepupunya itu susah dimengerti. Plus dengan tingkah dan sikapnya belakangan ini.
"Jen, lo kenapa sih?" tanya Eric berdiri dengan kedua tangan di pinggang. Raut mukanya terlihat gundah. Frustasi sekaligus tak berdaya. "Akhir-akhir ini elo nggak kayak biasanya. Kayak bukan Jensen yang gue kenal." Yang diajak bicara tampak tak acuh. Teralihkan fokusnya oleh gelas-gelas yang ia tumpuk menjadi menara. Ekspresi bingung campur cemas semakin jelas terlihat pada wajah Eric. "What the hell is wrong with you this week?" serunya. "Lo tinggal telpon Centurion dan SHI bisa ada dalam cengkeraman kita." Telepon di meja Eric dorong semakin dekat ke tangan Jensen. "Lo mau biarin SHI lolos gitu aja? Setelah apa yang kita kerjakan selama ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SCARLET | NOMIN [END]
Fanfiction"Lima puluh juta, enam hari. Dan setelah ini selesai, aku akan melepasmu pergi." - Jensen Lynx, CEO dan pebisnis sukses yang gila kerja mengajak Natanio Jeremy untuk tinggal bersamanya selama seminggu di sebuah penthouse hotel termewah. Pada awalnya...