Suara pulpen yang diketuk-ketuk ke atas meja mengundang atensi Aska pada pelaku di sampingnya. Diamatinya wajah Jenna yang tampak menatap kosong ke depan, tidak memperhatikan paparan dari klien mereka di rapat siang ini.
Aska menyenggol siku Jenna untuk menyadarkan temannya itu dari lamunan.
Jenna pun tersentak, lalu menoleh dengan tatapan bertanya. "Apa?" tanyanya berbisik.
"Lo kenapa?" tanya Aska balik.
"Nggak apa-apa. Emang kenapa?"
"Lo kayak lagi ngelamun."
Jenna mengerjap cepat, kemudian kembali menatap ke depan. "Enggak. Gue lagi perhatiin itu," jawabnya sambil mengedikkan dagunya ke depan.
Walau tidak sepenuhnya percaya, Aska hanya mengangkat bahu dan ikut memutar kepalanya menghadap ke depan juga.
Sekitar 15 menit kemudian, rapat selesai dan para peserta rapat mulai meninggalkan ruangan satu per satu, termasuk Jenna dan Aska. Keduanya berjalan beriringan menuju lift untuk turun ke lobi dan berniat untuk makan siang dulu sebelum kembali ke kantor.
Sebuah rumah makan khas Sunda menjadi pilihan mereka berdua. Berbagai macam menu serta lalapan telah tersaji di atas meja. Tak lupa, beberapa pilihan sambal juga sudah siap melengkapi makan siang mereka kali ini.
Aska terperangah melihat seberapa banyak Jenna mengambil sambal untuk ditaruh di atas piringnya. "Jen, lo mau makan kuah sambel? Banyak amat?!"
Jenna terkikih pelan. "Di sini sambelnya nggak begitu pedes, kok," jawabnya tanpa menatap Aska.
"Ya, tapi nggak setengah piring lo isinya sambel juga kali. Kasian perut lo."
Jenna tidak menanggapi lagi dan memilih untuk mulai makan. Perlahan, rasa pedas mulai menjalar ke seluruh bagian mulutnya. Hidung dan matanya mulai berair.
Dia mengambil gelas berisi es teh manis miliknya dan meneguknya untuk meredakan rasa panas di mulutnya. Setelah meletakkan kembali gelas ke atas meja, Jenna memanggil Aska yang berada di hadapannya. Pria itu masih tenang menyantap makanannya. "Ka ...."
"Hm?" jawab Aska setelah menyuap sisa isian sayur asem yang tinggal sedikit.
"Beberapa hari terakhir ..., Garvin pernah hubungin lo, nggak?" tanya Jenna sambil sesekali menyedot masuk air yang terasa meler di hidungnya.
"Garvin?" beo Aska, yang diangguki oleh Jenna. "Nggak tu. Terakhir gue chat-an sama dia pas dia baru sampe New York. Kenapa?"
Jenna menurunkan pandangannya. "Udah tiga hari ini, Garvin nggak bisa dihubungin," jawabnya, kemudian kembali menyuap makanannya. Tak lupa ditambah sambal sebanyak mungkin.
"Pulang kali anaknya," tebak Aska.
"Tadinya, gue juga ngira gitu. Tapi, masa tiga hari nggak nyampe-nyampe, Ka? Kalaupun dia dapet flight yang transit-nya panjang, nggak sampai tiga hari juga, kan? Hp-nya juga nggak pernah aktif."
"Masa, sih?" Aska hampir meraih ponselnya yang berada di atas meja sebelum akhirnya dia malah mencekal tangan Jenna yang hampir memasukkan makanan—dengan jumlah sambal tak manusiawi—lagi ke mulutnya. "Jen! Lo mau mati?! Nggak gini caranya!"
Jenna melepaskan sendoknya begitu saja, lalu menarik tangannya dari cekalan Aska. Dia meraih tisu untuk menyeka matanya yang basah, lalu beralih menyeka hidungnya.
"Lo frustrasi sama Garvin yang nggak balik-balik, bukan berarti lo nyiksa diri lo sendiri kayak gini! Percuma konseling lo selama ini! Kalau mau nangis, tinggal nangis aja! Nggak usah pake makan sambel sebanyak ini. Istighfar, Jen!"
![](https://img.wattpad.com/cover/334829871-288-k576538.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Pay Your Love ✓ [Completed]
Romance✨ Shortlist WattysID 2023 ✨ ---- Welcome to Mematch. Wanna experience a date without official bond? Just rent! ---- The story may contain harsh words and R19+ ---- Start : 22.02.23 End : 15.07.23