26 | Cari Kesempatan

3.8K 476 96
                                    

Sebuah ruang tamu minimalis yang hanya berisi satu set sofa berwarna abu-abu dan lukisan abstrak di dinding sebelah kanan menyapa Garvin dan Jenna begitu melewati ambang pintu. Di belakang sofa single, ada sebuah buffet berukuran besar yang menjadi penyekat antara ruang tamu dan ruang tengah.

Masih dengan konsep minimalis dan tidak banyak barang, ruang tengah Garvin hanya berisi sofa bed serta karpet tebal bermotif monokrom, serta meja berkaki rendah yang biasa digunakan Garvin untuk bekerja atau ngemil sambil lesehan.

Di dinding di seberang sofa, menempel sebuah TV layar datar 75 inch, lengkap dengan satu set home theater yang diletakkan di nakas rendah di bawahnya.

Di samping ruang tengah, terdapat balkon berkanopi yang biasa digunakan Garvin untuk beristirahat sambil menikmati kota Jakarta dari atas. Dia menempatkan dua buah beanbag serta satu meja kecil di tengahnya. Ruang makan dan dapur menjadi satu di bagian belakang. Dinding kaca tanpa pintu menjadi sekat antara ruang makan dan ruang tengah.

Sebulan lebih Jenna tidak datang, tempat ini tidak berubah sama sekali. Selalu rapi, bersih, dan wangi. Dominasi putih dan abu-abu membuat unit itu terkesan bersih dan terang. Tidak terlalu banyak hiasan dan perabot yang Garvin pajang juga memberikan kesan luas dan rapi. Alih-alih memasang pewangi ruangan, Garvin lebih suka memakai diffuser sehingga unitnya ini tidak hanya wangi, tapi juga menenangkan dan menyehatkan.

Di samping TV, terdapat sebuah foto berukuran besar yang membuat Jenna mengernyit samar sembari mengingat-ingat sesuatu. "Ini karena aku yang udah lama nggak ke sini, makanya lupa, atau emang aku nggak pernah liat foto itu ya, Vin?"

Garvin yang baru saja kembali dari toilet untuk buang air kecil sekalian ganti baju pun mengikuti arah pandang Jenna. "Oh, itu emang foto baru. Mommy yang cetak."

Jenna ber-oh panjang sambil manggut-manggut. "Pantesan kayak asing gitu. Kirain karena udah lama nggak ke sini, hehe."

Keduanya lalu duduk di atas sofa bed, menyandarkan punggung untuk melepas lelah dan letih.

"Beberapa minggu lalu, aku tiba-tiba ditelepon sama si Mbak." Garvin memulai ceritanya. "Dia bilang ada kiriman foto pesenan Mommy. Aku bingung, soalnya Mommy nggak pernah cerita apa-apa. Waktu aku confirm ke Mommy, aku malah diomelin karena dari dulu nggak mau nurutin dia buat cetak foto biar bisa dipajang. Dia bilang aku kayak orang individualis yang sebatang kara karena nggak ada foto sama sekali di sini. Makanya, pas dia kemarin di sini, dia cetak itu biar keliatan kalau aku punya keluarga. Mana segede gaban gitu ukurannya."

Jenna tergelak melihat wajah masam Garvin. "Tapi, aku setuju kok sama Tante Nafa. Majang foto keluarga tu kayak jadi pembuktian kalau kita baik-baik aja. Masih punya tempat buat pulang. At least, di mata orang lain yang liat, meskipun sebenernya, keadaannya mungkin nggak sebaik itu, atau bahkan berantakan banget. Tapi, orang nggak perlu tau itu, kan?"

Garvin tersenyum tipis. Setelah mengetahui cerita masa lalu Jenna, Garvin semakin sadar kalau sebenarnya selama ini Jenna selalu berbicara berdasarkan pengalaman masa lalunya yang kelam. Tapi anehnya, kata-kata Jenna itu bisa menjadi energi positif bagi orang lain yang mendengarnya. Lebih tepatnya, orang lain yang tidak tahu cerita masa lalunya, termasuk Garvin dulu. Kalau sekarang, setiap Jenna bercerita seperti itu, Garvin justru merasakan gelenyar ngilu di dadanya sebab dia tahu Jenna tidak baik-baik saja.

"Kamu ternyata mirip banget sama daddy kamu, ya. Kamu mirip Tante Nafa cuma di bagian mata doang. Kalau lagi ketawa atau senyum, matanya ikutan senyum," ujar Jenna yang masih memperhatikan foto keluarga Garvin.

"Smiley eyes, they said."

Jenna mengangguk setuju.

"Kalau kamu mirip banget sama Pak Erlan. Tante Diana kebagian sebelah mananya, ya ...?" Garvin mengamati wajah Jenna dengan saksama.

Pay Your Love ✓ [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang