1: Ada Husein di Sini?

54 3 0
                                    

Ia mengembuskan napas usai menutup sebuah koper kecil. Seolah ada kelegaan yang mengalir dari udara di mulutnya. Semua perlengkapan pendukung ia bekerja sudah dibersihkan dan dirapikan lagi di sebuah koper. Koper mini yang menjadi temannya untuk berkeliling kota dalam menciptakan karya seni makanan di depan kamera.

Sani meneguk air jahe yang masih hangat. Tiga tegukan, ia sudahi. Sekali lagi ia minum sebanyak tiga kali tegukan, kandaslah airnya. Hanya tersisa potongan jahe di gelas tinggi itu.

Sejenak Sani merilekskan badannya di sebuah ayunan ruang tengah yang langsung menghadap kolam ikan hias. Sambil melihat ulang behind the camera ketika dirinya menata dan meramu hiasan untuk makanan tradisional Jakarta. Kebahagiaan selalu meletup-letup meski ia lelah. Mungkin, ini definisi dari kebahagiaan bekerja yang sesungguhnya. Suara tongkat yang menjalar di ruangan membuat perempuan itu bangkit.

"Ibu, nyariin aku ya?" Sani tersenyum melihat ibunya yang berjalan pelan ke arah ia.

"Iya, tadi katanya kamu lagi bersih-bersih perlengkapan. Ibu cari di ruang kerjamu, tapi teh gak ada siapa-siapa, Neng."

Tangan Sani terulur menyentuh tangan ibu. Penglihatan ibu memang sudah lama terenggut karena kecelakaan yang berakibat merusak syaraf penglihatannya. Mereka juga sudah cukup lama menempati rumah ini. Sekitar 3 tahun, sehingga ibu sudah sedikit hafal dengan arah-arahnya meski hanya dibantu sebuah tongkat.

"Ibu duduk di sini."

Kedua pundak ibu dipegang lembut oleh Sani. Diarahkan untuk duduk di ayunan, di sebelahnya. Gemericik air dari kolam dan sunyinya rumah itu seolah mengalirkan ketenangan. Mereka berbincang banyak hal sampai tawa kecil keluar dan membuat sudut mata ibu sedikit basah. Tak kuat mendengar cerita lucu Sani. Sebelum akhirnya ada sebuah panggilan masuk ke telfon. Sani langsung menggeser simbol hijaunya ke atas. Sambil tetap duduk di samping ibu.

"Halo, Mrs. Fredca selamat siang."

Di seberang telfon membalas sapaan Sani.

"Saya sudah kirim rate card ke asisten Mrs, ya. Jadi apa Mrs sudah merasa cocok?"

Sani mengangguk-angguk. Senyumnya terbit lagi lantas disusul dengan ia mencium pipi ibu. Tampaknya kebahagiaan sedang memenuhi hati perempuan berjilbab cokelat itu. Ketika telfon ditutup, Sani justru mengajak ibu berdiri dan mendadak menari-nari.

"Hei, Neng kamu teh kenapa atuh? Aduh-aduh, jangan bikin Ibu deg-degan."

Terus saja Sani mengajak ibunya menari seolah ada sebuah musik mengiringi mereka.

"Heee, dijewer nih ya! Eh eh, hati-hati atuh!" Sani menggendong ibu beberapa detik. Membuat ibu kian heboh dan memukul pelan tangan Sani.

"Aku dapat job lagi dengan harga fantastis, Bu! Ini pasti karena doa ibu dan tentunya hasil kerja aku buat ibu juga!!! Ah, seneng banget!!!! Muach muach muach!"

Kedua tangan Sani memegang pipi ibu sambil menciuminya berkali-kali.

"Eh si Neng. Alhamdulillah atuh! Untung gak bau jigong kamu mah."

"Ibu, ya gak bau atuh ah. Masa cantik-cantik gini bau jigong!"

***

Melamar HuseinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang