Air jahe menjalar menghangatkan tubuh Sani. Ia lebih suka meminum rempah-rempah tradisional daripada harus meminum obat. Meski demikian, ibu tetap melakukan bujuk rayu agar Sani meminum obat. Setidaknya, hari ini ia berangsur pulih. Sudah tidak demam lagi, badan tidak linu-linu, tapi pikirannya pada Husein masih utuh teringat-ingat. Merindu Husein ternyata bisa membuatnya sampai jatuh sakit begini.
Perempuan itu menghela napas. Menutup gelas air jahe lalu kembali menyiram tanaman obat-obatan di dinding-dinding pagar rumah. Pot tanaman menggantung di sana. Sepagi ini, panasnya Jakarta tetap bisa dirasakan. Tak ada embun yang menempel di daun, meski sinar surya pun tak tampak terang benderang.
Setelahnya, Sani menaruh alat-alat untuk merawat tanaman di tempat semula. Ia mencuci tangan dan bergegas membuka pintu depan karena ada bunyi bel 2 kali.
"Siapa ya pagi-pagi gini ke rumah?"
Pintu terbuka, Sani mematung melihat tamunya. Janu.
"Assalamualaikum. Good morning, today is good day for you. I bring these."
Sani membuang napas.
"Waalaikumussaalm. Enggak. Today is bad day."
Pundak Janu terangkat. Tidak peduli dengan pernyataan Sani yang menganggap hari ini afalah hari buruk. Ya, Janu sadar maksudnya hari buruk karena kedatangannya ke rumah Sani. Di kedua tangan Janu penuh membawa hadiah untuk Sani. Tangan kanan membawa parcel buah dan tangan kiri membawa seikat bunga mawar merah yang dibungkus kertas cello maroon.
"Gue boleh masuk?"
Sejudes apa pun Sani padanya, tetap saja masih ada sisi hati dan sisi kemanusiaan terhadap Janu. Sani membuka pintu lebar-lebar lalu duduk di salah satu sofa.
"Diterima dulu, San." Janu masiu berdiri sambil menggerakan buah tangannya.
"Makasih, ya." Parcel buah dan seikat bunga mawar ia terima lalu ditaruh di atas meja.
"Udah sembuh?"
"Udah lebih baik."
"Syukurlah, gue kira lebih buruk karena disuntik."
Air muka yang datar, pandangan mata yang biasa, tapi pernyataannya sangat meledek Sani.
"Jan, udah deh. Masih pagi jangan bikin gue berubah jadi singa."
Suara langkah kaki dan tongkat ibu membuat mereka serempak melihat ke arah pintu menuju ruang tengah.
"Lho ada tamu, Neng? Udah dibuatin air belum?"
Janu tergesa mendekat dan mencium tangan ibu.
"Sehat, Bu?"
"Eh alhamdulillah sehat. Ini Nak Janu, ya?"
"Betul. Langsung hafal ya, Bu. Padahal baru sekali waktu itu ke sini."
"Hafal, suaranya khas. Hehe."
Melihat keakraban Janu dengan ibu bukannya membuat Sani luluh, ia justru kian terpenjara dengan memikirkan Husein. Rasa bersalah kerap bergelayut jika sudah seperti ini. Husein tak meminta Sani mengikat hatinya, tapi Sani seperti melakukan penjagaan karena seolah hatinya sudah dimiliki Husein.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melamar Husein
SpiritualBukankah tidak ada solusi bagi 2 orang yang saling mencintai selain menikah? Jika keduanya telah mampu. Tapi bagaimana kasusnya jika seperti yang dialami Sani pada Husein? Sani mencintai Husein sejak ia duduk di bangku SMP. Cintanya memang tidak beg...