21: Isi Kotak Hitam

9 2 4
                                    

Dilemanya manusia dewasa salah satunya adalah berhadapan dengan lingkungan pekerjaan yang tidak menyenangkan. Hal itu yang membuat Sani menggerutu di depan Alia yang masih menikmati Bread Butter Pudding. Hidup ternyata bukan hanya tentang pilihan, tapi juga tidak memilih alias menerima.

"Terus, lo mau keluar dari projek yang sekarang?" Alia menatap Sani.

Harum khas ruang perpustakaan dan ruang masak Baca di Tebet melayang-layang di hidung Sani. Membuatnya meneguk sedikit Kopi Berries, kemudian menjawab pertanyaan Alia.

"Ya enggak juga, sih. Ngeluh juga manusiawi, kan?"

"Yang penting porsinya jangan berlebihan aja."

Tentu Sani mengangguk. Tak lanjut berkeluh kesah sebab yang ia ingin adalah melebihkan pesanan untuk mengisi mulut dan perut. Biar Alia yang selanjutnya bercerita atau mereka bertukar pikiran dalam menempuh hidup sebagai wanita karir yang sama jomlonya. Sampai Bread Butter Pudding milik Alia habis, kudapan Pisang Unti milik Sani pun datang, obrolan mereka masih berlanjut. Kian seru setelah Ari datang masih dengan seragam kerjanya.

"Toko tempat gue kerja makin sepi. Jadi curiga."

"Curiga kenapa?" Alia memutar tubuhnya lebih fokus melihat Ari.

"Curiga gue bakal di-PHK dalam waktu dekat."

Sani menggeleng mendengar pernyataan pahit Ari. "Jangan, dong. Lo berpikir positif dulu aja."

"Bukannya apa-apa, San. Gue harus mulai nyusun plan kalau seandainya dipecat."

Menjadi bos bagi diri sendiri seperti Alia, menjadi pekerja lepas seperti Sani, dan menjadi karyawan seperti Ari semua memilikinya terjalnya masing-masing. Mereka saling menuangkan lelah agar lebih ringan dijalani. Meski tak perlu solusi, berbagi cerita seperti ini dirasa lebih baik daripada dipendam sendiri.

Topik paling menariknya adalah kisah percintaan mereka yang sama garingnya. Tak ada yang mekar seperti bunga mawar di meja sebelah.

"Entah, ya gue kayak belum kepikiran aja soal pasangan." Alia menangkup dagunya.

"Apa yang bikin kalian berdua masih fokus di karir?" Sebagai seorang lelaki di antara dua sahabatnya, Ari penasaran sekali dengan keputusan mereka lebih mendahulukan karir.

"Gue sih karena belum selesai dengan diri sendiri. Em, lebih tepatnya belum merasa cukup dengan kesendirian ini. Ada banyak hal yang masih ingin gue capai di saat belum mempunyai pasangan, karena gue belum merasa mampu menjalani apa-apa yang gue mau sambil harus menjalani kisah rumah tangga."

Jawaban yang sangat bijak sampai membuat Sani menggelengkan kepala karena kagum sambil bertepuk tangan dan Ari yang tersenyum puas seraya mengangguk.

"Kalau gue, masih harus memperbaiki diri dan -" Kalimatnya menggantung. Menaruh kembali garpu di samping pisang goreng yang mempesona dengan topping es krim dan unti.

"Belum bisa dapet orang yang gue mau," lanjut Sani.

"Seyakin itu lo berjodoh dengan orang yang lo mau, San? Emang siapa orangnya?" tanya Ari.

"Usaha aja dulu." Sani terkekeh. "Masih dengan orang yang sama. Kang Husein. Husein Zainal Ali."

Jawaban Sani berhasil membuat Ari dan Alia saling bertatapan sejenak. Mengerti bahwa mereka sama-sama heran dan bersiap-siap bahwa nama Husein akan kembali menjadi topik utama yang menyenangkan dari Sani. Dari sinilah, Sani menceritakan satu persatu pertemuannya dengan Husein. Pipinya yang bersemu merah telah menjadi penerjemah bagaimana  suasana hati sang empunya.

***

Beberapa tegukan air kopi telah menahan kantuk Sani dan kedua adiknya di kamar. Kalau sedang damai, seperti sekarang inilah yang terjadi. Sani dengan tabletnya sedang menonton drama Thailand, Maul dan Dira sedang push rank yang tak Sani pahami gamenya. Menjelang malam, Ibu mengetuk pintu kamar.

Melamar HuseinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang