16: Sebuah Paket

6 3 0
                                    

Sani terpejam-pejam serta merta kepalanya bergoyang ketika satu sendok dessert dengan jelly dan saus melon menyentuh lidahnya. Beberapa kali tak henti ia nikmati. Sang owner justru keheranan melihatnya.

"Harus gitu banget ya kalau makan?"

"Alia, ini artinya dessert lo enak banget! Masya Allah ajaib emang tangan lo itu."

Perkembangan usaha Alia semakin tampak pesat. Seperti saat ini, sebuah toko telah dibuka di Jakarta Selatan sekaligus menjadi rumah produksi penjualan online-nya. Ruangnya khas dengan warna pastel sesuai dengan warna-warni dessert yang diproduksi.  Di salah satu kursi toko itulah, Sani kini masih memanjakan lidahnya di siang yang terik ini.

"Rame, Al. Lo gak ada kerjaan gitu? Sampe nemenin gue makan di sini?"

"Enggak. Urusan dapur udah aman."

Terkagum-kagum Sani menjadi saksi pertumbuhan usaha Alia. Mulai dari produksi produknya sendiri, merekrut 3 karyawan, 6 karyawan, lalu hari ini sudah ada 25 karyawan dan tokonya. Entah bagaimana panjang dan hebatnya lagi rencana Alia ke depannya. Isi kepalanya untuk mengembangkan bisnis kian terang benderang. Tak heran memang, ia keras juga dalam belajar bisnis melalui pelatihan dan kelas-kelas belajar seharga jutaan hingga puluhan juta. Pantaslah Alia memetik buahnya.

Alia sudah mengapit tangan Sani dan membawanya pada sebuah klinik kecantikan. Melakukan konsultasi dan perawatan untuk kulit wajahnya. Pebisnis dan seorang food stylist itu memerhatikan benar penampilan mereka. Bertemu banyak orang, penampilan adalah nomor 1 yang memberi kesan. Puas di sana, keduanha berencana memberi kejutan pada Ari. Jam segini Ari masih bekerja. Tiga sejoli yang memang sudah hafal jadwal kerja atau kesibukan masing-masing.

Turun dari mobil, dua paper bag dan satu kotak kue turut mereka bawa. Berjalan melalui barisan toko ponsel, elektronik, sampai bertemulah di toko tempat Ari bekerja. Sebelum masuk, mereka berbisik-bisik menyalakan lilin. Punggung Ari tampak di sana sedang menjelaskan sesuatu pada calon pembeli. Sepertinya memang hanya sebatas calon saja, sebab tak ada transaksi yang terjadi.

"Selamat ulang tahun!!!"

"Suprise!!!"

Kikuk Ari menerima kejutan seperti ini. Beberapa rekan kerjanya turut hanyut dengan acara dadakan tersebut. Tiba jam istirahat, barulah benar-benar mereka mencari tempat makan siang. Kuenya sudah dipotong dan dibagi-bagikan pada teman Ari.

"Terima kasih banyak, ya. Sorry jadi ngerepotin gini."

"Kayak ke siapa aja, sih, Ari! Lo itu kan sahabat kita. Santai."

Ari memotong daging ayam di hadapannya.

"Semoga hidup lo makin bahagia dan persahabatan kita langgeng, ya. Ini ada sedikit hadiah dari gue."

"Ini juga dari gue," susul Sani.

Ari terkekeh kecil. Ini bagai dukungan besar di hari baik sekaligus hari buruknya sekarang. Belum ada cerita yang dituangkan dalam gelas-gelas perbincangan mereka. Tak enak hati juga lelaki itu memecah momen bahagia dengan momen sedihnya. Setelah makan dan perbincangan yang selalu seru, barulah kabar pahit masuk. Membuat Alia mengusap pundak Ari. Sani memberinya senyum menguatkan. Dunia yang semakin modern dengan cara kerjanya, memberi dampak cukup merosot bagi toko tempat Ari bekerja. Penjualan terjun bebas, pemasukan tak kuat menopang gaji bulanan karyawan, PHK lah momok menakutkan yang kini menghantam perjalanan hidup Ari.

***

Surat lamaran kerja sudah bertubi-tubi mental dari meja HRD ataupun dari email. Entah dengan kabar penolakan secara resmi bahkan sampai yang tak ada kabar sekalipun. Bagai tak ada kepastian. Usaha yang Ari lakukan tidak hanya dengan kedua tangannya, Alia dan Sani turut mengulurkan bantuan. Tak segan, ketika di titik terbawah atas puluhan penolakan, Alia menawarinya untuk bekerja di kafe. Sani juga menawari Ari untuk menjadi asisten food stylistnya. Meski tahu belum ada skill Ari di bidang tersebut, hati Sani kadung terpanggil. Tak bisa melihat temannya menderita.

Idealisme Ari cukup kuat. Ia menolak tawaran Alia karena menurutnya ini seperti jalur orang dalam. Alia pun sedang tidak membutuhkan pekerja tambahan. Hanya mengada-ngadakannya saja agar Ari punya tempat untuk mendapat penghasilan.

Tapi apalah mau dikata lagi? Pada akhirnya Ari memilih menjadi tukang ojek online. Kerja semampunya tapi juga tak pasti perolehannya. Bagi Ari, ini jauh lebih baik. Senin sampai Minggu bisa bekerja sesuka hati. Keliling Jakarta Selatan mengantarkan orang, barang, makanan, minuman. Panasnya langit Ibukota tak sepanas sulitnya menjadi seorang pengangguran. Ari akui itu.

"Puji Tuhan, dua ratus ribu." Ia memasukan dua lembar uang seratusan. Hasil bersihnya hari ini. Gegas Ari menuju pertamina mengisi bahan bakar motornya supaya besok pagi tak harus mengantre sebelum menerima orderan.

Kebahagiaan tak terukur dan rasa syukurnya yang tumbuh subur. Begini lebih tenang, karena sebenarnya ada alasan krusial lain yang membuat Ari menolak tawaran dari 2 sahabatnya dulu. Pekerjaan tak akan selalu mulus. Kalau ada celah kesalahannya dalam bekerja, khawatir akan berdampak pada hubungan persahabatannya juga.

***

Di bagian bumi yang lain, seseorang yang baru meletakan tas kerja di meja. Membersihkan diri. Mendirikan ibadan salat Maghrib. Makan malam dengan sepiring ayam rica-rica. Masih lanjut bertatap muka di layar ponsel dengan teman-teman pegiat literasi. Kegiatan rutin mereka sejak sang pendiri meninggalkan kampung halaman.

"Jadi nanti mau bekerjasama dengan perpustakaan kota?"

"Iya, Kang Husein. Setidaknya dari dinas bisa bantu fasilitas lah, ya. Meminjamkan koleksi perpustakaan mereka. Soalnya udah lama euy kita teh gak dapat buku baru. Anak-anak bosan."

Husein mengangguk. Mengusap dagunya yang bersih dari janggut.

"Proposal pengajuan waktu itu bagaimana?"

"Beberapa perusahaan swasta penerbitan udah kami kirim proposalnya. Memang masih ada yang belum memberi kabar ke kami, tapi yang sudah memberi kabar itu semuanya belum bisa menyetujui." Seorang perempuan berjilbab hitam menjawabnya. Salah satu bagian pipinya melesak ke dalam ketika akhir kalimat menutup dengan sedikit senyum.

Alasan penolakan itu datang karena para penerbit sudah melalukan hibah buku pada taman baca yang terdata oleh mereka. Beberapa lainnya memberi hibah pada saat ada momentum bersejarah saja seperti hari kelahiran penerbit tersebut. Koleksi buku yang sama di Herang Pustaka sudah lemah kekuatannya untuk menarik minat baca anak-anak. Rapat malam itu pun ditutup, dengan persetujuan Husein agar Herang Pustaka sementara waktu bekerjasama dengan Perpustakaan Kabupaten Sumedang. Di sisi lain, ia meminta Lilia sebagai sekretaris agar merevisi proposal untuk diajukan kepada Perpustakaan Nasional RI.

Bekerja di dalamnya, kenal orang-orangnya, jelas tahu jalurnya juga. Sayang sekali jika kesempatan ini tak Husein manfaatkan untuk pertumbuhan Herang Pustaka. Agar fasilitas anak-anak dan masyarakat dalam berliterasi semakin kuat.

Baru saja akan menutup ponsel, sebuah notifikasi pesan dari Lilia mengurungkannya.

Lilia
"Kang, saya lupa bilang. Kalau ada paket datang, tolong diterima ya."

Husein mengerenyit heran. Paket apakah? Dari siapa?

Husein
"Dari siapa dan untuk siapa, ya?"

Lilia
"Dari Herang Pustaka, untuk Akang."

Benarkah? Kenapa ganjil sekali? Tapi ya sudah, Husein iyakan saja dan berterima kasih. Tak banyak bicara lagi karena mata dan sekujur tubuhnya sudah menuntut hak untuk beristirahat.

Lampu dimatikan. Selimut ditarik. Suara kendaraan melesat di jalanan ibukota masih amat nyaring sampai di pendengarannya. Mengantarkan Husein terlelap.

***

Melamar HuseinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang