10: Jarum Suntik

6 2 0
                                    

Sepulang dari Tebet, Sani merasakan badannya yang panas sekaligus dingin. Membuatnya menyelinap di balik selimut dengan kondisi AC yang sudah dimatikan. Karena tidak ikut makan malam bersama, ibu dan Dira menghampirinya ke kamar.

"Neng, pintunya dibuka ya. Makan dulu atuh, udah jam 9 ini teh. Neng belum makan dari tadi."

Ibu mengetuk lagi pintu kamar Sani.

"Teteh baik-baik aja, kan?"Kedua tangan Dira memegang sebuah nampan berisi sepiring makanan dan segelas air jahe kesukaan Sani.

Pintu kembali diketuk. Sani membuka sepasang matanya. Pendengarannya mulai menangkap suara ibu dan Dira.

"Astaghfirullah. Udah jam 9. Belum salat Isya." Sani mengusap wajah setelah melihat jarum jam dinding di kamar. Kemudian ia bangun tanpa melepas selimut putih yang membungkus dari ujung kepala sampai kaki. Membuka kunci pintu kamar.

"Allahu akbar!!!" Dira melotot melihat sosok di depannya. Nyaris jantungnya melorot karena ia keburu sadar bahwa sosok berselimut putih itu sang kakak. Bukan pocong.

"Kenapa jerit-jerit, sih Dek?"

"Itu, Bu. Teh Sani kayak pocong. Masa pake selimut dari kepala sampe kaki. Mirip pocong banget, deh."

"Hus, sudah-sudah. Sani makan dulu ya, Neng."

Ibu dan Dira masuk. Sani justru menyungkurkan diri di kasur lagi.

"Teteh kenapa malah mau tidur lagi? Ini juga AC-nya kenapa dimatiin? Emang gak panas?" Remot AC ia raih. Menyalakan lagi karena saat pintu kamar dibuka hawa panasnya cepat Dira rasakan. Sementara itu, ibu meraba-raba kasur. Telapak tangannya berhasil menyentuh wajah Sani.

"Ya Allah, kamu teh sakit, Neng. Kenapa gak bilang ibu atuh?"

Mendengar perkataan ibu, Dira segera duduk di tepi kasur.

"Iya, badan teteh panas," ucap Dira setelah menyentuh dahi Sani. Ia meminta Sani duduk untuk meminum air jahe hangat yang dibawa tadi. Lantas pergi ke dapur menyiapkan air hangat dan handuk.

***

Sekali lagi, Alia menghubungi Sani tapi tidak tersambung. Perempuan itu kemudian melepas celemek dan meninggalkan karyawannya yang masih berkutat dengan bahan-bahan membuat dessert. Seraya berkata, "Mba tolong diselesaikn semua orderannya, ya. Maaf saya harus keluar dulu."

Lima belas menit kemudian ia sudah keluar rumah. Pakaiannya sudah diganti, wajahnya sedikit dipoles bedak dan lipstik. Sepeda motor yang ditumpanginya pun pergi meninggalkan halaman rumah.

"Ari, pelan-pelan aja, ya."

"Iya."

Satu hari nomor WhatsApp dan media sosial Sani tidak aktif adalah hal yang pantas Alia khawatirkan. Mengingat terakhir pertemuannya dengan Sani di Tebet dengan kondisi seperti orang yang memiliki gangguan kejiwaan. Sani berteriak mengungkapkan perasaannya terhadap Husein di tengah banyak orang. Meski percaya, Sani tak akan bertindak macam-macam. Tetap saja Alia khawatir.

Kendaraan roda dua itu sudah tiba di halaman rumah Sani. Tak lama kemudian bunyi bel terdengar di dalam rumah, membuat ibu meminta tolong salah satu pekerja di rumah untuk membukakannya.

Melamar HuseinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang