31: Taaruf

8 2 0
                                    

Hal yang telah berlalu memang tak begitu saja mudah untuk dilupakan. Kejadian di mall kala itu berhasil menorehkan luka yang cukup dalam di hati Sani. Ia diliputi rasa takut, tiap kali akan berinteraksi dengan pria. Ia semakin kehilangan percaya bahwa dirinya benar dicintai. Jika cinta itu ada, mengapa harus lebih unggul daripada nafsu?

Masih pantaskah ia dicintai? Walau kejadian itu bukanlah keinginannya. Namun, tetap saja jika Sani sejak awal menolak kehadiran Arsya atau mampu menjaga jarak dengan Arsya, itu tak akan terjadi. Maka baginya, tetap ia yang salah.

Ibu tidak tahu tentangnya dengan Arsya. Malam setelah kejadian di mall, Janu lekas mengantarnya pulang bersama Angga. Beruntung Janu dapat membantunya lebih cepat, karena memang sedang berada di Mall. Mencari alat fotografi yang dibutuhkannya.

Sekarang Sani masih memandangi dirinya di depan cermin. Meraba hidungnya yang sempat bersentuhan dengan hidung Arsya. Meraba bibirnya yang nyaris mendapat 'momen pertama'. Ia masih sangat menyesali kejadian tersebut. Seolah ada yang sudah direnggut.

"Allah ampuni aku gak ya, kira-kira?"

Di dalam cermin, air sudah mengambang di kelopak matanya. Sekali saja berkedip, pasti sudah tumpah ruah.

"Ampun ya, Allah. Ampuni aku."

Kedua tangan digenggamnya. Kepala tertunduk berat. Tubuh kecil itu sedikit berguncang menahan suara tangis.

Tiba-tiba saja Sani mengusap air mata. Tergesa duduk di kursi kamarnya. Membuka ponsel dan mengetikan sesuatu.

"Aku harus melakukan sesuatu perubahan supaya Allah mau mengampuni aku."

Ternyata, yang dibukanya adalah catatan di ponsel. Ia mengetik cukup panjang. Tentang hal-hal yang harus ia lakukan sebagai bukti dari penyesalannya. Sebuah cara merayu Allah agar memberinya ampun. Agar tetap mencintainya. Hatinya bergetar hebat karena rasa takut jika kejadian waktu itu membuat Allah berpaling. Tak lagi mencintai Sani.

"Bismillah."

Sani membaca ulang yang telah ditulisnya. Diyakini dan diteguhkan agar bisa ia laksanakan. Meningkatkan ibadah, kuantitas belajar ilmu agama, menambah relasi yang mendukungnya untuk semakin bertumbuh di jalan Allah.

"Mudahkanlah ya Rabb dan terimalah ampunan hamba-Mu ini," pintanya dalam hati.

Diam-diam, rasa bersalah juga bermekaran pada Husein. Hatinya yang seolah sudah resmi dihuni Husein terasa telah mengkhianatinya. Bertahun-tahun Sani menjaga diri dan menjaga hati, harus runtuh hanya karena seorang pria yang baru dikenalnya dalam hitungan hari.

"Maafkan saya ya, Kang Husein." Ia bergumam.

Sani tidak bisa juga menutup kemungkinan apa pun yang Husein pikirkan tentangnya. Kejadian di Mall membuat ia dan Arsya bagai sepasang kekasih yang sedang berkonflik. Bisa saja Husein mengira begitu juga. Kemudian kedatangan Janu tampak seperti ada cinta segitiga di antara mereka.

Itu memang sekadar apa yang Sani pikirkan. Yang Sani takutkan. Namun, apalah mau dikata. Sudah telanjur terjadi. Tidak bisa dihapus tiba-tiba.

Teringat dengan lelaki sedikit bicara itu, membuatnya jadi disajikan potongan-potongan kenangan saat mereka SMP. Di bawah hujan deras, anak-anak berseragam biru putih berjalan pelan memasuki gerbang sekolah. Ada yang memakai payung, ada yang memakai jas hujan, bahkan ada yang memakai daun pisang sambil lari pontang panting menerobos hujan dan menjinjing sepatu di tangan kirinya.

Sudah pukul setengah 8 pagi, bel sekolah harusnya berbunyi sejak 15 menit yang lalu. Tapi memang sudah biasa jika hujan deras begini. Jam pelajaran bisa lebih mundur. Keterlambatan siswa bisa ditoleransi.

Melamar HuseinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang