Malam nanti, Sani harus meeting dengan Mrs. Fredca dan tim kreatif fotografi di Jakarta Utara. Waktu masih panjang untuk pagi ini merangkak menuju malam. Jadi masih Sani pakai untuk mempersiapkan konsep dan mencetak surat perjanjian projek dengan produk usaha Fredca. Klak klik klak klik, mouse Sani berbunyi seiring dengan jarinya yang menekan tombol. Tirai ruangan yang disibak membuat cahaya pagi menerobos memberi pencahayaan di ruangan. Sementara perlengkapan kerja Sani lainnya ada yang tertata di lemari kaca, tergantung di dinding, disusun di meja.
Pintu ruangan diketuk seseorang, Sani beralih sejenak dari pekerjaannya. Kedua adiknya ternyata sudah berdiri di depan pintu.
"Teh, Dira sama Maul berangkat sekolah dulu." Dira mengulurkan tangan lantas mencium punggung tangan Sani. Pun demikian dengan Maul.
"Gocarnya udah dateng?"
"Itu udah ada di depan, Teh."
Sani dan ibu mengantar mereka sampai gerbang rumah. Sejak kepergian ayah Sani 1 tahun silam, tukang ojeklah yang menganntarkannya sekolah. Sesekali Sani juga mengantar menggunakan CRV-nya. Kesuksesan ayah di tanah rantau ini tak membuat perekonomian keluarga runtuh ketika ia tiada. Apa lagi disusul dengan cemerlangnya karir Sani pasca kuliah. Namun, tak ada gading yang tak retak. Demikian peribahasa tepat untuk hidup Sani juga. Sisi utuh dan retaknya sudah cukup sempurna.
Sani termenung di ruang kerja usai melepas keberangkatan Dira dan Maul. Seragam putih biru yang Maul pakai dan seragam putih abu yang terpasang di tubuh Dira, mengetuk-ngetuk hati dan ingatannya.
Dunia remaja adalah dunia yang sangat rentan dengan drama asmara. Cinta monyet, virus merah jambu, dan ungkapan sejenis sedang tumbuh-tumbuhnya di masa itu. Sebagaimana Sani, yang duduk di bangku kelas 1 SMP sudah tahu rasanya mengagumi. Waktu itu, ia masih tinggal di Sumedang. Kisah merah jambunya berangkat dari papan catur yang membuat Sani berhadapan dengan seorang lelaki bernama Husein Zainal Ali.
Setiap kuda yang digerakan Husein, hati Sani bergetar-getar. Setiap mentri yang Sani angkat, hatinya meletup-letup. Bukan karena takut pasukan Husein meluluhlantakan pasukannya. Ini karena Husein yang selalu fokus menatap papan catur sejak sesi pertama permainan. Husein tak memanfaatkan kesempatan seperti ini untuk banyak berkenalan bahkan menatap setiap lawan mainnya perempuan. Antara Husein yang memang sangat profesional atau memang kenyatannya dia sedang menjaga pandangan seperti dugaan Sani.
Sejak awal pertandingan. Iya, sekali lagi sejak awal pertandingan ketika Sani memperoleh kesempatan menonton, Husein bahkan tak menerima jabat tangan dengan lawan wanita.
"Skak." Husein berkata pelan. Sani tak menyadari rajanya terancam, justru menggerakan benteng lima kotak ke kiri. Merapat untuk melahap kuda.
"Permainan selesai." Barulah saat itu Sani melotot tapi tak sampai membuat biji matanya keluar. Raja Sani mati bukan hanya karena serangan pertama ketika di-skak tadi. Tapi karena Husein menambah serangan lainnya dari sebuah pion yang seperti anak kecil tapi keberadannya makin melumpuhkan kerajaan Sani.
"Yah, kok akang teh gak ngalah aja, sih?"
Cuma Sani yang bisa terang-terangan berkata seperti itu pada lawannya. Mau ditaruh di mana coba harga dirinya sebagai juara catur tingkat keluarga?
"Permainan kamu bagus. Eh siapa namamu tadi?"
"Sani."
KAMU SEDANG MEMBACA
Melamar Husein
SpiritualBukankah tidak ada solusi bagi 2 orang yang saling mencintai selain menikah? Jika keduanya telah mampu. Tapi bagaimana kasusnya jika seperti yang dialami Sani pada Husein? Sani mencintai Husein sejak ia duduk di bangku SMP. Cintanya memang tidak beg...