Beruntung, urusan semalam dengan polisi sudah selesai karena bantuan Ari. Dalam kondisi mendesak, Sani hanya ingat teman terdekatnya yang laki-laki. Beruntung pula, Ari gegas menolongnya tanpa keluh dan tanya yang membuat waktu terulur.
Di meja makanlah kini Sani berada bersama tim projek foto produk Wills Cream. Hidangan tinggi nutrisi tersaji sudah tak lagi sempurna. Nyaris habis disantap mereka, sebagai penutup selesainya projek di Wills.
Angga berkali-kali meneguk air putih untuk menghilangkan pedasnya sambal di mulut. Meski begitu, masih saja dia colek maut sambal di mangkuk dengan nila bakar. Sedangkan Janu sudah membersihkan tangan dan meja di hadapannya menggunakan tisu. Setelahnya, sebuah ide baru meletus di kepala Janu. Baginya, tak apalah tidak menggunakan tisu bekas, tisu baru pun sepertinya seru untuk melipat wajah Sani yang kini sedang penuh energi.
Satu, dua, tiga, yap! Tepat sekali. Justru lebih dari ekspetasi Janu. Tisu yang sudah diremasnya mengenai tangan Sani ketika perempuan itu akan mengambil buah jeruk.
"Siapa nih yang lempar tisu?" Tangannya urung mengambil jeruk. Sementara yang lain ada yang menggeleng, mengangkat bahu, dan menjawab. Raut muka Sani bagai menatap sesuatu yang menjijikan. Ia segera melihat ke arah datangnya tisu tersebut. Ah sudah barang tentu Sani tahu. Tangannya segera mengambil tas di belakangnya. Dengan tatapan panas ke arah Janu yang sedang memainkan ponsel, dengan kekuatan seisi alam semesta, dan dengan ketangguhan tas di tangan. Bug!
"Aw!"
Bukan, bukan Janu yang berteriak! Seperti tidak tahu Sani saja. Ia salah sasaran, pukulannya justru menghantam Angga yang duduk di sebelah Sani.
***
Seluruh perlengkapan pemotretan sudah selesai diangkut ke mobil Angga. Sementara pemiliknya beserta tim baru menginjakan kaki di lantai satu. Mengerti apa yang dipikirkan Sani, Janu mengajak teman-temannya mampir ke perpustakaan Wills. Berdebar-debar jantung Sani dibuatnya. Khawatir akan ada perjumpaan antara dirinya dengan sang pujaan hati. Siapa lagi kalau bukan Husein?
"Aduh berisik banget, sih." Janu tiba-tiba berhenti saat mereka nyaris masuk ke perpustakaan. Ia menutup sebelah telinganya.
"Berisik darimananya?" tanya Angga.
"Manusia aneh emang gitu. Atau telinga lo perlu dibersihin deh, Jan." Sani kesal. Kedua tangannya dilipat di depan dada.
"Padahal yang berisik itu asalnya dari lo, San"
"Kok, gue?"
"Jantung lo berisik. Mau ketemu pujaan hati si akang-akang itu."
Kedua tangan Sani mengepal. Ia melenggang masuk tanpa meninggalkan jejak pukulan hebat. Tumben. Sedangkan Angga hanya tersenyum-senyum sambil menggelengkan kepala. Heran sendiri bisa mempunyai sahabat unik seperti Janu. Bahasa cintanya tidak masuk dalam teori yang ada saat ini.
Di dalam, Sani sibuk menggeser-geser buku. Tak tahu hendak mencari buku apa, yang penting tampak sibuk saja. Sebab sebenarnya ia takut tapi juga ingin berjumpa Husein. Ya, ada malunya sedikit kalau lagi-lagi kepalanya menyalakan memori mengirim pesan yang isinya melamar Husein. Ah sudah sudah sudah! Baru disentil sedikit pikiran Sani langsung teringat. Jari tangan kanannya mengetuk-ngetuk kepala. Barangkali bisa menghentikan ingatan itu.
Ketika bola matanya melirik ke arah suara kaki yang sedang berjalan, jantungnya nyaris melompat sendiri. Yang sedang berjalan itu Husein! Segera tangan Sani mengambil buku dengan asal. Menutup wajah sambil curi-curi pandang pada sang pujaan hati.
Husein terus melangkahkan kakinya. Usai mengolah naskah kuno milik Wilss, ia ingin menengok suasana di layanan sirkulasi dan referensi. Berkeliling saja menyusuri rak-rak buku yang penuh. Barangkali ada yang membuatnya terpincut untuk dibaca. Sedangkan di balik salah satu rak, Sani menyadari gerak-gerik Husein. Khawatir lelaki itu akan tiba di rak andalannya dalam bersembunyi, segera ia mengambil langkah keluar perpustakaan.
Sani tetaplah Sani, kecerobohannya terjadi. Langkah cepatnya tak sengaja membuat perempuan itu menabrak seorang perempuan yang membawa setumpuk dokumen.
"Aduh, maaf, Kak." Beberapa dokumen yang jatuh segera dipungut Sani.
"Iya, Kak. Makasih udah bantuin."
Kejadian itu mengusik pendengaran Husein. Ia mengenali perempuan yang dokumennya berjatuhan. Lekas Husein hampiri.
"Ada apa ini?"
Sani tercekat. Semua dokumen yang jatuh di lantai selesai diambil. Tentu ia sangat hafal dengan suara yang baru saja melontarkan tanya. Hingga membuatnya masih berjongkok dan menunduk. Bagaimana ini? Apa yang harus dilakukannya? Tolong turunkan mesin pengganti wajah sekarang juga! Tapi, memangnya ada? Entahlah. Sekarang Sani sangat buntu.
Sani tak kunjung berdiri. Husein dan si perempuan pembawa dokumen kebingungan.
"Kak, dokumennya sudah diambil semua," ujar si perempuan pembawa dokumen yang ternyata rekan kerja Husein. Nadya.
"Oh eh i-iya, Kak."
Gawat! Apa yang harus Sani lakukan?
Husein mengambil alih dokumen yang dibawa Nadya. Memberi kode supaya rekan kerjanya membantu perempuan yang masih berjongkok itu.
"Kak, dokumennya udah diambil semua." Lagi, Nadya mengulangi perkataaannya seraya menyentuh pundak Sani.
"Aduh, pundak saya sakit, Kak. Saya duluan, ya."
Ide yang bagus! Begitulah menurut Sani. Ia pura-pura sakit pundak, lalu terus berjalan sambil seolah menyeret kakinya dan memalingkan wajah. Hm?
Nadya kian bingung. "Yang sakit katanya pundak, tapi kok kakinya ..."
"Sani, lo pincang?"
Argh! Janu pengacau! Hancurlah sudah pertahanan Sani menyembunyikan diri. Ia lalu melirik ke arah Husein untuk memastikan tak melihatnya. Duh sial, kala itu justru tepat ketika Husein melirik ke arah Sani. Kalau tak ada adegan mengirim pesan DM, sudah ramah tamah sekali Sani pada Husein. Tak seperti sekarang ia setengah senyum dan setengah menahan malu sampai giginya tampak. Nyengir kalau bahasa mudahnya. Tak selesai-selesai nyengirnya, sambil masih juga berjalan pincang keluar perpustakaan.
"Nyengirnya belum selesai?" Janu melenggang melaluinya.
Bibir Sani langsung mengatup. Parah! Giginya bahkan terasa kering. Untung tak kering kerontang.
"Janu!!!" Kesadaran Sani pulih. Mungkinkah setelah ini perang akan terjadi? Sani VS Janu.
Langkah kaki Janu secepat kilat berlari menuju parkiran. Di belakangnya, Sani sudah melepas heels-nya. Nyeker di perusahaan besar seperti ini tidak apa-apalah, rasa kesalnya lebih menggelembung daripada rasa malunya.
"Lo nyebelin! Nyebelin! Nyebelin!" Ujung hellsnya ditekan-tekan ke tubuh Janu saat tiba di hadapan lelaki itu.
Sesekali tubuh Janu berusaha menghindar. Sambil mengaduh, ia membuka tas ransel. "San, ini buat lo."
Sebuah kotak terulur dari tangan Janu. Sani mematung. Bunyi kendaraan nyaris menggulung suara Janu.
"Apaan tuh?"
"Kotak."
Memang bibir Sani keriting sekali. Mendengar jawaban lelaki di hadapannya membuat bibirnya tertarik ke atas.
"Gue mau balik ke Pariaman. Lo jangan kangen kalau lama kita gak seprojek. Nih!" Lagi, Janu menjulurkan kotak hitam itu pada Sani.
Oh, jadi maksud Janu ini sebagai kenang-kenangan?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Melamar Husein
SpiritualBukankah tidak ada solusi bagi 2 orang yang saling mencintai selain menikah? Jika keduanya telah mampu. Tapi bagaimana kasusnya jika seperti yang dialami Sani pada Husein? Sani mencintai Husein sejak ia duduk di bangku SMP. Cintanya memang tidak beg...