13: Balasan

10 3 0
                                    

Segelas minuman dingin sudah berdiri di depan Sani. Lengkap dengan ketela keju. Sani hanya mengangguk dan mengatakan terima kasih pada pelayan. Menatap meja dengan pandangan yang hampa. Sayu sekali wajah perempuan itu. Garis hitam di kelopak matanya sangat tegas. Matahari yang bersinar di wajahnya sedang tenggelam. Sani mengetuk-ngetuk meja, menunggu seseorang datang menemuinya.

Jam di pergelangan tangan, Sani lihat. Ia membatin, 5 menit lagi pasti datang. Nyatanya tak sampai 5 menit, sudah terdengar suara langkah kaki mendekat ke meja Sani. Menyapa lalu tersenyum canggung.

"San, maaf pasti nunggu lama, ya?" Ari menarik sebuah kursi di hadapan Sani. Perempuan itu menggelengkan kepala dan tersenyum tipis.

"Lo mau minum apa? Pesen aja, gue traktir."

Dengan satu kali tarikan napas yang cukup dalam, Ari hanya bisa menyisir rambutnya. Rasa khawatir merekah nyaris sempurna ketika melihat kondisi Sani.

"Nanti aja. Lo boleh cerita ke gue kalo mau."

"Buruan pesen, Ri. Sekalian buat Alia."

Baiklah, Ari mengalah. Dua jenis minuman ia pesan segera. Dari saku celana, terasa sebuah getaran ponselnya. Alia, membaca nama yang tampil di layar, Ari segera menggeser simbol hijau.

"Alia minta maaf gak bisa datang, San. Ada urusan mendadak di luar kota. Dia bilang gak bisa hubungi elo, jadi nelfon gue." Kini ponsel Ari ia taruh di meja.

"Oh, oke."

Hening.

"San, lo kenapa?"

Kenapa? Sani tak tahu kenapa. Tiba-tiba saat ini air matanya mendesak keluar begitu saja. Padahal urung sepatah kata pun ia ucapkan. Ari diam, khawatir di dadanya tak bisa diam. Berontak ingin banyak bertanya. Tapi membiarkan Sani menangis dulu mungkin itu sedikit lebih baik. Pikirnya.

"Lamaran gue ditolak."

Lamaran? Sani tak pernah cerita sebelumnya. Ari bingung mendadak ada di tengah-tengah cerita. Barulah seluruh kronologisnya Sani uraikan di hadapan Ari. Mulai dari ia mengirim pesan pada Husein, menghapus aplikasi Instagram, hingga menginstall kembali karena ingin tahu jawaban Husein meski takut.

"Lebih tepatnya, dia bilang saat ini belum ada rencana untuk menikah."

"Cuma dibalas itu?"

"Dia juga minta maaf."

Ari mengakui keberanian sahabatnya. Dia tak menyangka, Sani akan senekat itu. Entah apa yang membuatnya mengambil keputusan sedemikian menantang.

"Syukurlah. Tapi, lo menyesal?"

Tawa kecil Sani justru jadi pembuka jawaban dari pertanyaan Ari. Mengusapkan tisu ke sudut-sudut mata. Lalu menggelengkan kepala. Tak ada sesal di hatinya. Jawaban Husein pun tak seharusnya ia rasa menyakiti Sani. Jawabannya justru membuat Sani sedikit lebih terang benderang untuk tak terlalu menganggap keberadaan cintanya. Perempuan berhidung mungil itu sedih karena begitu cerobah mengambil keputusan besar.

Jawaban Husein membuat terang benderang. Tak hanya untuk pengetahuan Sani tentang lelaki itu, tetapi sekaligus lengkap terang benderangnya mengetuk hati Sani. Untuk semakin memperbaiki diri. Baru sadar, caranya melamar lelaki bukan cara yang benar. Islam tak melarang perempuan lebih dulu untuk meminta pernikahan pada lelaki, namun harus disertai dengan etika dan adab yang benar.

Setelah mengetahui jawaban Husein, Sani meminta maaf atas caranya yang salah.

"Terima kasih jawabannya, Kang. Maaf jadi mengganggu dan saya pakai cara yang salah untuk melamar Akang. Doakan semoga Allah mengampuni saya dan saya bisa lebih baik lagi."

Melamar HuseinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang