14: Jam Tangan

14 3 2
                                    

Sebuah tasbih kecil dikeluarkan Janu dari saku bajunya. Kepala lelaki itu menunduk, membaca tasbih, tahmid, dan takbir. Tak lama kemudian mengangkat kedua tangan mengirimkan doa-doa yang ia semogakan, menembus atas masjid, menembus lapis langit pertama, hingga sampai ke arasy-Nya. Ia begitu khusyuk di antara jamaah lainnya yang sudah bergegas meninggalkan masjid.

Janu usai dengan salatnya. Angga baru tiba dan langsung mengambil posisi untuk salat di samping Janu. Tak menunggu lama, Janu lekas melipat sajadah. Mengembalikannya ke tempat semula. Tadinya, ia berniat menunggu Angga. Tetapi seorang lelaki dengan kemeja putih mencuri perhatiannya. Lelaki itu bangkit meninggalkan jam tangan di tempat salat ia tadi. Sempat ragu, akhirnya Janu mengambil langkah lebar-lebar menyelamatkan jam tersebut. Lalu mengejar lelaki berkemeja putih tadi.

"Eh, tunggu!"

Yang dipanggil tak menyadari panggilan itu untuknya. Jadi langkah kaki masih terus bergerak menuju pintu keluar masjid.

Tangan Janu berhasil menepuk pundak lelaki itu.

"Iya? Ada apa, ya?"

"Jam elo ketinggalan."

Lelaki berkemeja putih itu melihat kedua pergelangan tangannya. Ah, benar jamnya tertinggal.

"Masya Allah, jazakumullah khairan katsir."

Bingung harus menjawab apa. Janu hanya bisa tersenyum dan mengangguk. Ia yakin, lelaki itu tentu tak menyadari bahwa Janu adalah rekan kerja Sani.

"Duluan, ya. Mari!"

Ya, lelaki berkemeja putih itu adalah Husein. Punggungnya yang perlahan menjauh masih saja ditatap Janu. Barulah ketika Angga mendekatinya, Janu mengalihkan pandangan.

"Tungguin, Jan."

"Iya."

Mereka mengenakan sepatu lagi. Beranjak ke ruangan tempatnya bekerja.

***

Lelah sekali hari ini. Lelah tubuh, jiwa, hati, dan lengkap dengan isi kepala Sani. Satu hari yang menguras banyak energi, padahal pekerjaannya sama saja dengan projek yang sebelumnya. Sepertinya energi Sani terkuras banyak ketika kejadian di lift siang tadi. Berpapasan dengan Husein. Sebuah perjumpaan yang biasanya sangat ditunggu tapi hari ini ingin sekali ia potong agar tak pernah ada.

Sekarang tubuh Sani hanya direbahkan di atas kasur sambil menatap langit-langit kamar. Setelah membersihkan diri, karena tak ada kontes dangdut di perut maka ia memilih untuk memulihkan diri di kamar saja.

"Bisa-bisanya dulu pengin ketemu dia tapi susah banget dapat momennya. Sekarang lagi gak pengin ketemu kenapa mudah banget buat ketemu?"

Entah sedang bertanya pada siapa. Perempuan itu resah sendiri. Semesta tak mendukung pertemuannya dengan Husein di saat semua masih baik-baik saja. Tapi semesta menjadikan bumi begitu sempit hingga mereka mudah bertemu saat kondisinya sudah jungkir balik. Perasaan Sani masih sama, tapi tindakannya yang mungkin nanti akan berbeda.

"Kang Husein, kenapa juga saya suka sama Akang?"

Sani bangun dari kasurnya. Menutup tirai jendela kamar karena sudah pukul 5 sore. Duduk di kursi. Membuka laptop. Menyusuri informasi-informasi.

"Pokoknya gue jangan sampe mengulangi hal yang sama lagi!"

Siapa pun bisa saja malu mendengar cerita Sani melamar Husein melalui Instagram. Berkali-kali lipat malunya. Sekarang Sani membuka media sosial. Mengejar-ngejar informasi komunitas muslimah, jadwal kajian, dan tetek bengek lainnya. Sampai ia mengurut sedikit pelipisnya. Mampukah ia membagi waktu antara pekerjaan dengan jadwal kajian?

Melamar HuseinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang