"Ayo kita bersihkan dulu, ya tempatnya." Seorang perempuan berjilbab hitam mengajak anak-anak kecil membersihkan ruang membaca.
Tiga perempuan lainnya turut turun tangan seraya membimbing anak-anak. Sapu ijuk, kemoceng, lap, pel menjadi senjata yang siap menerkam debu-debu di dalam sana. Buku-buku terlebih dahulu diturunkan dari rak, lalu diempaskan debu-debunya dengan kemoceng dan lap kering. Lantas disusun ulang dengan rapi dan dengan konsep tata ruang yang baru. Sementara itu, sebagian anak-anak yang lain bersama beberapa lelaki remaja hingga dewasa sedang membersihkan dinding bagian luar dan mengecatnya.
Dua jam berlalu, kegiatan usai. Gelas-gelas plastik sudah berkali-kali dituang es teh oleh empunya. Maka tak heran, dua teko ukuran besar itu kini hanya menyisakan es batu yang masih cukup besar. Sampai diisi ulang tapi dengan air putih saja. Tidak apa-apa rasanya berbeda, tapi dingin dan kesegarannya tetaplah sama. Sekarang mereka berkumpul melepas penat sambil berbincang.
"Kang, besok jam berapa kita acaranya? Lupa euy." Anak kecil berbaju warna kuning membuka suara.
"Masa lupa atuh? Jam 8. Catet coba biar gak lupa terus kamu mah." Teman perempuannya tiba-tiba menyambar menyeruakan jawaban dan sedikit sindiran.
Nasi liwet, sayur bening, tempe dan tahu goreng, ikan nila goreng, sudah tersaji. Akan menjadi penyelamat lapar usai gotong royong membersihkan taman baca. Setelahnya anak-anak ramai pulang ke rumah. Ada yang berjalan kaki, ada yang membawa sepeda, mereka pulang sambil tertawa-tawa yang entah karena apa. Obrolan anak-anak memang selalu beragam, lucunya lain dengan orang dewasa.
Siang bergerak menuju sore. Sore berserah diri pada malam malam. Malam pamit pada pagi. Hari sudah berganti, 35 anak-anak di desa Baginda ini sudah berdatangan lagi dengan wajah berbinar-binar. Terciptalah antrean panjang untuk mengosi daftar hadir.
"Ambil buku, yuk! Abdi teh belum baca yang buku cerita asal usul Cianjur." Seorang anak berambut ikal mengajak salah satu temannya. Masuklah mereka ke ruang taman baca. Menghampiri rak yang berisi buku-buku cerita rakyat. Si rambut ikal pun melompat-lompat bahagia saat mendapatkan buku yang dimau. Fokus mereka seketika teralihkan saat satu pasukan orang datang dengan pakaian mencolok. Laki-lakinya kompak menggunakan Totopong di kepala atau Iket Sunda. Sedangkan perempuannya menggunakan selempang batik motif Beasan.
"Wihhh keren!!!" Anak-anak terkagum saat tahu ternyata kelompok kesenian itu membawa alat musik angklung, kecapi, dan suling bambu.
"Mangga teteh dan Akang," sambut Husein. Sedari tadi lelaki itu tak tampak, kali ini sudah hadir di antara keramaian taman baca.
"Rame ternyata ya, Kang?" tanya salah satu lelaki kelompok kesenian.
"Alhamdulillah rame, Kang. Inilah taman baca masyarakat yang kami dirikan sejak 4 tahun silam."
Lelaki itu mengangguk-angguk takjub.
Alat musik sudah disusun di depan. Minggu ini, aktivitas di taman baca sengaja mengundang salah satu kelompok kesenian untuk pembelajaran literasi budaya. Husein, sang pendiri taman baca memberikan sambutan dalam acara.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," salam Husein. Salam terjawab, ia melanjutkan. "Sampurasun."
"Rampes!!!"
Anak-anak berteriak, berseru penuh energi. Beberapa di antaranya bahkan berdiri setengah kaki sambil tersenyum lebar.
"Beginilah anak-anak kami ya, Kang, Teteh. Selalu rame. Sebelumnya, saya selaku pendiri Taman Baca Masyarakat Herang Pustaka mengucapkan banyak terima kasih sudah berkenan hadir di sini... "
Bukan Husein jika sambutannya panjang nun lebar. Cukuplah ia sampaikan terima kasih, permohonan maaf, dan sedikit tujuan dari kegiatan pada hari ini. Singkat, padat, dan jelas, tak sampai menghabiskan waktu hingga 5 menit.
***
"Telunjuknya di lubang yang ini. Nah susun seperti ini ya jarinya." Perempuan berselempang batik dan berlesung pipi itu mencontohkan. Jarinya menutupi beberapa lubang pada suling, ketika ditiup, jarinya bergerak membuka dan menutup lubang-lubang yang ada. Hingga menghasilkan suara merdu.
Beberapa anak mencoba, mulut mereka malah mengerucut seperti minta diikat. Meniup suling seperti meniup api. Cemberut dan penuh emosi.
Tak hanya dari sisi cara memainkan, sejarah atau filosofinya pun dipaparkan. Sesekali mereka berjoget ketika musik dimainkan oleh san seniman. Merdunya tak bisa diberi ampun. Bahagianya anak-anak tak bisa membuat orang dewasa di sana tak turut berbahagia juga. Semua gembira, langit gembira dengan teduhnya, pohon gembira dengan lambaiannya, angin gembira dengan siurnya.
Kegembiraan pun sejenak pamit, ketika di akhir acara. Husein berdiri lagi di depan. Ia menarik napas dalam-dalam. Membuangnya perlahan. Ketika kata mulai keluar, semua menyimak. Wajah anak-anak beberapa menit lalu penuh bahagia, kini sudah direnggut lagi.
"Begitu. Kang Husein izin gak menemani adik-adik Akang di sini untuk beberapa waktu. Mudah-mudahan, Akang bisa sering-sering pulang kampung, ya. Alhamdulillah, ini berkat doa dari teman-teman Herang Pustaka dan adik-adik semua juga. Jadi Akang diterima sebagai pegawai ASN. Pas pisan jauh tugasnya. Tapi gak apa-apa, ya. Herang Pustaka tetap hidup di sini meski Akang gak di sini. Karena ada Teh Laili, Kang Rusdi, Kang Alif, Teh Sifa, dan masih banyak lagi."
Husein akan pergi ke tempat yang jauh. Jauh dari Herang Pustaka yang selalu melengkapi kebahagiaannya sebagai manusia di dunia. Tapi Herang Pustaka juga sudah ada di hatinya. Tidak akan ke mana-mana.
"Laili, Kang Rusdi, dan teman-teman saya percaya pada kalian. Tetap bisa menghidupkan Herang Pustaka. Karena tanpa saya di sini, Herang Pustaka tetaplah Herang Pustaka." Beberapa potong kalimat Husein sampaikan setelah taman baca sepi. Ditinggal anak-anak dan kelompok kesenian.
***
Beberapa potong es batu artifisial Sani masukan ke segelas air berwarna merah. Kesibukannya dengan beberapa asisten food stylist sedang 'menghidupkan' bermacam-macam varian minuman. Sedangkan tim kreatif sedang memasang perlengkapan pemotretan. Semua sibuk dengan tugas masing-masing sebagaimana konsep dan sketsa yang telah disepakati ketika meeting.
"Semua perlengkapan tim kreatif udah ready, San." Janu, sang fotografer berdiri di samping Sani. Sambil sesekali memotret perempuan itu.
"Jangan cuma gue dong yang difoto, Jan. Ada asisten gue juga ini."
"Sorry, fokus gue ke elo mulu."
Tak perlu diperintah, ruangan itu langsung penuh dengan sorai dan suara 'cie-cie' khas menyudutkan orang yang sedang kasmaran, berduaan, tak peduli sepasang kekasih atau bukan. Menanggapi situasi seperti ini, Sani hanya bisa berkacak pinggang. Memberi tatapan tajam pada Janu.
"Oke, gue foto lo dan tim." Santai saja Janu menanggapinya.
Entah kenapa, ada begitu banyak fotografer di Jakarta tapi Sani lebih sering bertemu Janu. Mereka tidak tergabung dalam 1 agensi juga. Hanya bekerja masing-masing, tapi nama telanjur masuk di kepala banyak pebisnis F&B maka Sani dan Janu sering dipanggil. Maka sudah tak heran sebenarnya, kalau Sani menerima perlakuan seolah istimewa, kata-kata khas buaya, tindakan bak pahlawan dari Janu. Jangan tanya Sani peka atau tidak atas semua itu. Sani sangat peka, tetapi dia selalu mengesampingkannya. Lebih percaya pada 'pengalaman' yang sudah-sudah. Bahwa semua lelaki sama saja. Mereka hanya datang untuk menjawab rasa penasarannya. Jika sudah, maka sudah juga perbincangan dan perkenalannya.
Janu hanya penasaran pada Sani. Begitulah mantra yang sudah mendarah di tubuh Sani.
Di waktu yang sama, tapi tempat yang gerbeda. Husein baru saja masuk ke dalam bus. Sang kernet menutup pintu. Bus melaju meninggalkan terminal.
"Allāhumma bika asta'īnu, wa 'alaika atawakkalu. Allāhumma żallil lī ṣu'ūbata amrī, wa sahhil 'alayya masyaqqata safarī, warzuqnī minal khairi mim mā aṭlubu, waṣrif 'annī kulla ṣyarr, rabbiṣraḥlī ṣadrī wa yassir lī amrī." Husein mengusapkan kedua tangannya ke wajah. Teriring dengan hatinya yang melantunkan arti dari doa tersebut. Semoga tanah rantau bisa dilembutkan, dibaikan, dan dilapangkan menerima dirinya. Rantau jugalah yang memanggil Husein atas perintah pemilik jagat raya ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Melamar Husein
SpiritualBukankah tidak ada solusi bagi 2 orang yang saling mencintai selain menikah? Jika keduanya telah mampu. Tapi bagaimana kasusnya jika seperti yang dialami Sani pada Husein? Sani mencintai Husein sejak ia duduk di bangku SMP. Cintanya memang tidak beg...