22: Sebuah Paperbag

4 2 0
                                    

"Jazakallah khairan, Husein. Sudah menyempatkan akhir pekannya untuk hadir di liqo ini."

"Masya Allah, doakan semoga istiqomah ya, ustadz. Baru ikut 2 kali."

Ustadz Alim mengangguk seraya menepuk-nepuk pundak Husein. Pertemuan kedua ini baru membuatnya sempat menyapa dan berbincang lebih panjang. Hal yang wajib Ustadz Alim lakukan kepada anak kajiannya yang baru bergabung. Sambil menunggu sang istri  karena belum usai mengisi materi dalam kelompok liqonya khusus perempuan.

Dari jendela masjid, tampak gumpalan kapas putih di langit sedang arak-arakan. Menutup dan membiarkan cahaya matahari membakar jalanan. Panas, itulah yang dirasakan para pejalan kaki di trotoar dan pengendara sepeda motor yang tak bisa meliuk-liuk di jalan karena padat. Membuat Ustadz Alim sedikit menyipitkan matanya karena harus pulang di bawah langit yang gersang.

"Hati-hati di jalan ya, Ustadz dan Amah Yanti."

"Ya sudah kami duluan," ujar Ustadz Alim, kemudian menutup pertemuan itu dengan salam. Kendaraan roda empatnya melaju pelan, berada di belakang kendaraan lainnya.

Cuaca memang sedang terik-teriknya, tapi yang menjalar di tubuh Husein cukup rasa hangat saja. Sebab imannya yang sudah diisi lebih banyak energi dari kajian. Tak luput dari hatinya yang kian bermekaran dengan cinta, entah untuk siapa cintanya nanti. Ia bahagia saja, karena sedang mempersiapkan diri dulu melalui kegiatan liqo. Meski tetap saja akhirnya pikiran lelaki berkemeja lengan panjang itu melanglang pada masa depan. Tentang pendamping hidup dan pelayaran rumah tangga yang siap dipimpinnya.

Ia melipat lengan kemeja hingga siku, seiring dengan melipat lamunannya ketika seorang ojek online tiba.  Menyerahkan helm hijau untuk Husein pakai. Ia tak sadar, ponsel di saku celana sempat menyala tanda panggilan masuk tanpa nada dering.

***

"Husein gak angkat telfon. Gimana, ya?" Alif menatap ketiga temannya. Berdiri menggendong tas ransel sejak beberapa menit yang lalu mulai terasa pegal di pundak.

"Ya udah kita cari penginapan murah dulu aja di sekitar sini," saran Kang Rusdi.

Semua setuju dengan saran dari Kang Rusdi. Sebab ada punggung yang menuntut butuh direbahkan setelah perjalanan panjang dari Sumedang. Rencana untuk berlibur ke Jakarta akhirnya akan mereka tunaikan hari ini. Setelah mereka melepas penat dan Husein bisa dihubungi, malam harinya mereka gegas ke Perpustakaan Jakarta di Cikini, Kecamatan Menteng. Hendak mengikuti acara Night at The Library Volume 7.

Memasuki gedung perpustakaan, mereka menunjukan barcode reservasi yang sudah didapat melalui aplikasi Jaklitera. Kemudian menyatu dengan banyaknya pengunjung pada malam itu. Menyaksikan kemeriahan konser musik dan pembacaan puisi oleh tamu-tamu ternama. Keindahan dan kemeriahannya sampai membuat Alif berdecak kagum tak henti-henti. Berisiknya hampir mengalahkan suara musik di telinga Syifa.

"Lif, pelan-pelan atuh. Atau jangan ngomong dulu, jangan ngeliatin kalau kita kampungan gini."

"Bener kata Syifa, Lif. Biasa aja, karena jadi anak kota dulu kita."

Alif tak menghiraukan, ia kini mengentakan kaki mengikuti bunyi drum yang dipukul. Toh, hampir semua pengunjung juga bersorai dan bernyanyi. Tak akan ada yang memperhatikannya. Hanya sahabat-sahabatnya inilah yang diam saja. Kaku macam tembok. Tiba di penyanyi berikutnya, ruangan syahdu dengan alunan musik yang santai dan lirik lagu yang begitu tajam.

Di tengah lantunan lagu dari penyanyi Bernadya, Lilia melirik-lirik ke arah Husein. Tangannya menggenggam rapat sebuah paperbag kecil. Ia berdehen, menelan ludah.

"Kang Husein."

Husein menjawab panggilannya dengan tatapan. Lilia menarik ujung kerudungnya yang baik-baik saja.

"Ini buat Akang." Ternyata paperbag kecil itu hendak diberikan pada Husein.

Ragu, tapi tetap Husein terima pemberian Lilia.

"Ini isinya buras, sambal kacang, sama rendang, Kang."

"Kok, repot-repot gini, Li?"

"Enggak, kok. Ini, saya yang bikin. Terus Ambu bilang, katanya sekalian bawain untuk Kang Husein."

Sebentar saja Husein tersenyum kaku. Menyampaikan terimakasihnya pada Lilia.

Berbeda dengan Husein dan teman-temannya yang sedang bergembira, Sani dan timnya sedang berada di kursi panas klien dari perusahaan Super Food. Hasil pahit dari satu minggu berkutat dengan foto dan video produk hingga keluar hasil editingnya. Wanita berusia 50-an tahun itu mengetuk meja menggunakan remote layar. Memberi penilaian yang amat rendah dan hina terhadap apa yang dilihatnya di layar sekarang. Membuat Sani menahan gejolak amarah karena tak terima dengan pernyataannya. Ia bukan ketua tim, tapi hasil pemotretan dan video itu ada campur tangannya sebagai pencerita dan penata.

"Ini keluar dari konsep produk. Padahal saya sudah memberi masukan melalui ketua tim setelah rapat. Kenapa ini melenceng jauh?"

Ketua tim menjawab, "Maaf, Bu. Sepertinya ada miss komunikasi di antara tim kami. Waktu itu masukan dari ibu sudah saya sampaikan di grup WhatsApp kami."

Sani mendesah kesal. Ia mulai mengerti.

"Apakah maaf saja cukup? Lalu konten foto dan video ini tetap akan dipublikasikan? Tentu tidak. Saya gak mau tahu, buat ulang semuanya sesuai apa yang sudah saya perintahkan. Ingat, kalian boleh disebut manusia kreatif, bebas berkarya. Tapi ketika kalian terikat  kerjasama dengan orang lain ataupun perusahaan, saat itulah kreativitas kalian juga bebas tapi dibatasi."

Mengangguk, mengiyakan, hanya itu yang bisa mereka lakukan. Namun, ketika pernyataan berikutnya datang, mereka hampir tak bisa berkata-kata lagi. Untuk sekadar mengangguk pun berat rasanya.

"Ingat, tak ada pembayaran lebih sebagaimana di surat perjanjian kerjasama karena kalian tidak memenuhi hak klien."

Artinya, mereka harus bekerja 1 minggu lagi jadi dengan bayaran 1 minggu bekerja saja.

Di luar ruangan, Sani menumpahkan amarahnya pada si ketua tim.

"Namanya aja kerja tim, harusnya lo sadar dong kalau semua tim harus masuk di grup WA itu. Jangan circle terdekat lo aja. Mentang-mentang gue baru pertama kali gabung di sini."

Ya, Sani tak tahu menahu tentang pesan masukan dari kliennya. Padahal kuncinya juga ada pada dia sebagai pembuat storyboard konten. Amarah yang hampir sampai di ubun-ubunnya ia lampiaskan pada Janu. Mengomel saja terus hingga sampai di parkiran. Lalu dilanjutkan saat tiba di sebuah kafe. Sebuah usaha Janu untuk meredam emosi Sani sekaligus modus tipis-tipis.

Janu membiarkan Sani bicara sendiri. Menceritakan sejak awal dirinya bergabung dalam tim yang sudah dirasa toxic. Pengalaman ini menjadi pengalaman pertamanya mendapat komentar pahit nan getir dari klien. Sani tak habis pikir kenapa ia harus dipertemukan dengan tim seperti mereka.

"Parah banget, Jan. Satu minggu kerja kita gak bakal dibayar."

"Konsekuensi perjanjiannya begitu."

"Iya, tapi harus ada kebijakan dong. Manusiawi dikit gitu."

Janu hanya tersenyuk kecil. Perempuan di hadapannya benar-benar kecewa. Tapi wajah kecewanya, amarahnya, tetap Janu suka.

"Mereka juga gak mau rugi, San."

"Halah, perusahaan aja digedein. Tapi sama orang-orang yang kerja buat perusahaan loyalitasnya setipis tisu dibagi seratus."

"Tipis banget, dong."

"Bukan tipis lagi, tapi abis. Gak ada. Gak ada loyalitasnya."

Segelas cappucino yang baru saja tiba di meja, Janu geser. Meminta Sani untuk meminumnya.

"Marah-marah juga butuh minum, San. Karena bikin haus, kan?"

Sani mencebikan bibir. Menyeruput cappucinonya.

"Kok elo tumben gak ngeselin?"

"Masa, sih? Emang lo sukanya gue yang ngeselin atau gak ngeselin?"

Percaya diri sekali Janu bertanya seperti itu. Sani menahan tawa dan mengatakan, "Gak dua-duanya."

***

Bersambung

Maaf lama update heheh.

Melamar HuseinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang