24: Drama Ngonten

7 2 0
                                    

Pertemuan Liqo pada hari itu telah mendorong Sani untuk melakukan lebih dari biasanya. Sepuluh ribu followers, adalah amanah yang diberikan pada Sani. Ia telah menjadi salah satu bagian kecil yang disorot banyak orang dan juga media-media nasional. Seiring dengan konten edukasinya yang mulai dibuat. Sebisa yang ia beri, dengan konten tentang dunia food stylist. Sebuah dunia yang masih begitu jauh dari jangkauan mata manusia. Sehingga ini memang cukup asing bagi mereka.

"Food styling bersama Sani Zaa..."

Begitulah pembukanya. Di depan ponsel, ia memaparkan materi singkat berdurasi 1 menit. Memakai nama Sani Zaa sebagai nama populernya.

"Mau konten apa lagi? Request di kolom komentar, ya."

Jarinya menyentuh layar ponsel. Memutar hasil dari rekaman barusan yang membutuhkan 5 kali pengambilan video hingga hasilnya sesuai. Ia mengembuskan napas, ternyata bicara di depan banyak orang sangat berbeda ketika bicara di depan ponsel. Benda mati yang tak bisa memberi reaksi berupa tatapan mata ataupun raut muka. Meski sudah satu minggu rutin membuat konten.

Beberapa tawaran kerja sempat masuk di email Sani. Memintanya menjadi brand ambassador, mengisi seminar di jurusan tata boga, bahkan menjadi dosen praktisi di salah satu kampus swasta. Semuanya menarik, tapi tentu butuh waktu untuk ia pertimbangkan. Bukan karena hanya memanfaatkan kesempatan, ia juga harus mempertimbangkan kemampuan.

Semakin banyak konten yang diproduksi, pengikutnya juga terus meningkat. Dalam satu bulan, Sani mampu memperoleh 50 ribu pengikut dan 10 endorse dari banyak pihak. Tak hanya mengandalkan kelebihannya dalam bidang food stylist. Pencapaian yang cukup fantastis ini diperoleh dari kelas ngonten yang diikutinya.

Saat sedang merapikan peralatan ngonten, ada panggilan telepon masuk di ponselnya. Nama Alia tertera di sana.

"Halo, dengan Sani Zaa di sini."

Di ujung sana Alia tertawa kecil.

"Beda emang kalau udah jadi influencer."

Tubuh Sani diempaskan ke sofa kecil di sudut kamarnya.

"Harus gitu emang, Al. Sani Zaa, namanya yang amat sangat cakep sekali."

"Siap, bu bos! Kirim rate card elo, dong. Mau juga dessert gue diendorse Sani Zaa."

"Kayak sama siapa aja deh, lo. Gue kasih free."

Tidak, Alia tidak mau ini dilakukan cuma-cuma. Sedekat apapun dengan seseorang, baginya haram untuk meminta harga teman terlebih memanfaatkan keahliannya untuk kepentingan diri sendiri. Ada waktu, usaha, pengalaman, dan proses belajar yang harus dihargai.

"No! Gue gak mau."

"Orang lain mah dikasih gratis jadi happy, elo malah nolak. Awas aja kalau sampe tantrum."

"Mending gue tantrum daripada harus dapet gratisan dari skill lo. Menurut gue, skill lo wajib dihargai. Kalau bisa, ketika orang lain bayar skill lo seharga 5 juta, gue bayar 2 kali lipatnya."

Sani mencebikan bibir.

"Uluh, masa, sih? Ya udah gue kasih harga 2 kali lipat dari rate card gue."

Di ujung sana, Alia menjauhkan ponselnya.

"Tapi jangan sekarang! Cafe gue lagi merintis nih."

Tertawa lagi Sani meresponsnya.

***

Sani menyalakan kamera. Kembali ke kasurnya kemudian bangun menggeliat. Seolah baru membuka mata dari tidur dan mimpi yang begitu cepat hilang dari ingatan. Lantas mematikan kamera, mencari tata letak yang pas untuk menyorot dirinya saat merapikan tempat tidur. Dirasa sudah dapat posisi yang pas, ia gerak cepat menyusun bantal. Melipat selimut.

Melamar HuseinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang