Kenapa waktu jadi terasa begitu lama jika ditunggu? Sudah diisi dengan kegiatan apapun, waktu tidak bergegas jalannya. Menuntut isi kepala Sani tak fokus pada apa yang dikerjakan. Bolak balik dia melihat WhatsApp, siapa tahu ada chat dari Amah Yanti. Tapi nihil, bahkan status WA Amah pun tidak ada.
Jarum jam dinding telah menunjukan pukul sepuluh kurang 5 menit. Tak ada selera untuk mandi, sedangkan siang ini akan ada jadwal Liqo dilanjut rapat bersama Janu dan Angga.
"Apa chat Amah aja, ya?" Sani berpikir. Tidak, tidak boleh. Mungkin saja Amah Yanti sedang sibuk jadi belum sempat mengabari. Sani tak boleh mengganggu.
Tiga puluh menit ia mengumpulkan niat dan tekad untuk mandi. Barulah handuk yang tadi ia taruh di kursi, ditarik kembali. Saatnya mandi. Menyiram kepala yang penuh dengan pertanyaan dan hati yang terisi harapan.
"Kamar mandi, i'm coming!" Ia berlari kecil sambil mengangkat tangan kanan ke udara dan tangan kiri di pinggang. Seolah hendak terjun ke medan tempur. Belum lama masuk kamar mandi, Sani keluar lagi. Mengambil sabun muka di dalam loker.
"Kamar mandi, i'm coming!" Ulangnya lagi. Langkah kaki pun terhenti ketika bunyi notifikasi dari aplikasi WhatsApp. Ia setengah menggerutu, karena susah payah mengumpulan niat untuk mandi sekarang harus gugur karena rasa ingin tahu dari pesan yang masuk.
Sebuah nomor baru memperkenalkan diri dan maksudnya mengirim pesan.
"Assalamualaikum, Teh. Perkenalkan saya Lilia, temannya Kang Husein. Kalau masih ingat, yang waktu itu ketemu di rumah Nininya Teteh.
Saya mendapat amanah untuk mengirimkan undangan ke teteh. Undangan pernikahan dari kang Husein.
Semoga bisa hadir, Teh."
Apa-apaaan ini? Kenapa sebuah undangan sudah lebih dulu tiba daripada kabar dari Amah Yanti?
Ia menggeleng pelan. Meyakinkan diri bahwa ini semua dusta. Berat hati Sani membuka link yang dibagikan oleh Lilia. Demi membuktikan kabar itu salah. Tapi, ada nama Husein di sana. Husein dengan Nadya. Lengkap bersama sebuah foto prewedding. Husein membaca buku dan Nadya sedang merapikan buku.
Ada sesuatu yang tiba-tiba hilang, hilangnya memberikan sakit. Sekaligus ada yang tiba-tiba datang, menghantam dada meski tak terdengar bunyinya. Sani bresandar di kursi. Menepuk-nepuk dada supaya tak sesak. Terlambat, ia terlambat.
Ini salahnya yang terlalu lama bergerak. Mungkin jika ia lebih cepat sedikit, ceritanya akan berbeda.
Kedua tangan Sani menggertakan meja. Digenggam erat. Marah dan kecewa. Tidak terima cintanya diperlakukan seperti ini. Tangannya menyambar ponsel, menghubungi Amah Yanti.
"Sani, kamu baik-baik aja?"
Belum ada sepatah kata yang Sani ucapkan. Hanya terdengar rintihannya menahan sakit di hati.
"Amah-"
"Iya, Amah di sini, Sayang."
"Biodata taaruf waktu itu--" Ingatan Sani merekah. Lembaran kertas yang menjado bukti perjuangannya, terlintas kembali. Mengiris hati yang sudah terluka. "Buang aja, Amah. Belum Amah berikan pada Husein, kan?" Sani mampu mengatakannya meski setengah tertatih.
"Sani terlambat, Amah. Terlambat. Padahal Sani sudah berusaha dengan cara yang baik, tapi kenapa belum bisa mendaapat rida Allah untuk berjodoh dengan dia?
Sani tidak pernah pacaran. Sani tidak tahu bagaimana bagaimana rasanya dicintai dengan tulus oleh lelaki selain ayah. Bahkan selama ini selalu berusaha untuk menjaga diri. Tapi, tapi kenapa seolah Sani sangat berdosa jadi pantas merasakan ini, Amah?"
"Kecewa dan menangislah dulu, gak apa-apa. Kamu tenang saja, biodata taaruf itu belum sampai di tangan Husein. Maafkan Amah, ya."
"Enggak, Amah. Ini salah Sani. Sani yang terlambat."
Belum ada sepatah kalimat nasihat dari Amah Yanti. Membiarkan Sani menangis dan menumpahkan kekecewaannya lebih dulu, itu lebih baik. Sebab sebenarnya, Amah juga sedang menutupi kenyataan. Jika biodata taaruf itu sudah diterima Husein, bertepatan dengan Husein memberi suaminya undangan.
***
Tidak mudah bagi Sani untuk pulih. Ia menjalani hari-hari dengan seperlunya. Cukup bekerja menuntaskan projek, pulang, lalu istirahat. Ajakan dari Alia dan Ari untuk bertemu tidak dihiraukan. Janu berulah padanya, tidak direspons. Sani hanya sedang ingin sendiri dulu. Kontennya pun belum lagi dilanjutkan, padahal sudah mencapai 50 ribu pengikut.
Hidup seperti tak ada selera untuk dijalani.
"Teh, ini Dira abis belajar masak, lho. Cobain dong, Teh." Dira mengetuk pintu kamar Sani. Sebuah usaha untuk membantunya sembuh.
Sebenarnya tidak ingin juga Sani berlama-lama seperti ini. Ia sedang sulit mengendalikan emosi. Hatinya ingin berontak karena sulit menyudahi. Tidak apa-apa, Sani akan mencoba untuk baik-baik saja di depan orang terdekat. Di depan cermin, ia mulai menarik bibir hingga membentuk lengkungan. Mengirim kalimat-kalimat positif pada otak.
"Gue bisa, gue berharga, gue pantas mendapatkan yang lebih baik, dan apa yang sudah gue alami adalah yang terbaik."
Berulang-ulang ia katakan, perlahan rasa tenang pun menjalar. Kelopak matanya yang terpejam kembali terbuka. Hendak melangkah membukakan pintu kamar untuk Dira.
"Teh!!!"
"Buruan buka! Ibu, Teh!"
Kenapa jadi seperti ini? Mendengar kekhawatiran Dira membuat Sani melangkah cepat.
"Ibu kenapa?"
Dira hanya menunjuk ke arah ruang tengah. Tak sampai berkata, kakinya sudah berlari menuju ibu. Disusul oleh Sani. Ibu tergeletak di atas sofa.
"Ibu pingsan, karena tadi-"
Bukan waktunya mendengar penjelasan. Ibu harus bangun dulu. Sani mengambil kotak P3K di lemari. Memberikan minyak angin di dekat indra penciuman ibu. Seraya mengusap-usap pipinya dan meminya agar bangun.
"Bu, bangun."
Telapak kaki ibu dipijit dioles minyak angin oleh Dira. Syukurlah, mata ibu mengerjap pelan. Ibu sadar.
"Neng," panggil ibu sambil meraba tangan si sulung lalu memeluknya.
"Adikmu, Neng. Ibu gak percaya kalau adikmu sampai ditangkap polisi karena narkoba. Itu pasti bohong, kan?"
Senakal-nakalnya Maul, tak pernah Sani berpikiran tentangnya sampai seburuk itu. Sani sama seperti ibu, tidak percaya. Sayangnya ketika dikulik lebih dalam informasi yang didapat, sudah banyak yang membuktikan.
Ya Allah, akan ada kabar buruk apa lagi setelah ini? Haruskah bertubi-tubi? Terjadi dalam waktu yang begitu dekat.
Sebagai seorang selebgram, kabar Maul sedang berada di club malam dan tertangkap mengonsumsi narkoba cepat sekali diendus netizen. Bahwa Maul adalah adik kandung dari seorang Sani Zaa, sang food stylist yang tengah jadi sorotan karena karya-karyanya. Banyak media berlomba-lomba memberitakan ini. Seolah jadi santapan paling nikmat dan tak boleh terlewat. Sampai biodata tentang Sani dinaikan lagi.
Media sosial Sani mendadak menjadi sarang cacian, sindiran, dan nasihat yang penuh tusukan.
Akan bagaimana ke depannya, Sani hanya ingin Allah mengangkatnya dari muka bumi sekarang juga. Apapun penyebabnya, Sani hanya bisa menyalahkan diri sendiri. Kalau saja ia tak berlarut-larut dalam kesedihan, ia tak akan lalai dari menjaga Maul. Maul yang tak mempan dinasihati dan dilarang-larang ibu.
***
Bersambung
Gimana? Gimana? Gimana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Melamar Husein
SpiritualBukankah tidak ada solusi bagi 2 orang yang saling mencintai selain menikah? Jika keduanya telah mampu. Tapi bagaimana kasusnya jika seperti yang dialami Sani pada Husein? Sani mencintai Husein sejak ia duduk di bangku SMP. Cintanya memang tidak beg...