15: Kamu di Mana?

7 3 0
                                    

Tak peduli bagaimana orang-orang saat ini menatap Janu. Berjalan seorang diri dengan alas kaki berupa sandal. Masuk ke gedung kantor perusahaan es krim yang notabennya para pegawai memakai blazer, lantas kian kece dengan sepatu mengilapnya. Janu? Jauh sekali. Kali ini rambutnya tak diikat. Entahlah karetnya dicuri tikus atau hilang nyempil di bawah bantal. Tak sempat mencari apa lagi dengan kondisi kaki kanan sedikit membiru.

Tangannya mendorong pintu. Menyeruaklah pemandangan Angga, Sani, dan teman satu tim lainnya yang tampak belum lama datang. Mereka tengah mengecek perlengkapan. Mengeluarkan beberapa peralatan yang baru dibawa dari rumah.

"Assalamualaikum. Good morning, Sani!"

"Waalaikumussalam." Seketika mereka menolah. Beberapa tersenyum. Sisanya datar-datar saja, seperti Sani.

Angga nyaris belum berminat mengolok-olok sahabatnya itu di pagi hari begini. Ia juga nyaris tak berniat menyapa Janu lebih lanjut. Namun, ketika melihat sebelah kaki Janu membiru dan sedikit bengkak, Angga segera menghampiri.

"Kaki lo kenapa? Gara-gara diinjek Sani kemarin, ya?"

Mendengar namanya disebut apa lagi mengulik peristiwa injak kaki secara otomatis di hari kemarin. Sani melihat ke sumber suara. Mencari pemandangan kaki Janu. Duh benar saja. Sudah seperti ubi ungu besar! Ubi ungu enak saja jika dimakan. Tapi kaki keunguan begitu pastilah sakitnya tak tertahankan.

Cuek dan diam-diam rasa bersalah meraba hati Sani.

"San, korban elo, nih!"

Bola mata Sani berputar tak tentu. Macam bertemu jalan buntu! Kali ini kata-katanya yang buntu.

"Ah, enggak lah. Kemarin gue pelan deh injek kaki lo, Jan."

"Dih ngeyel. Udah lo duduk dulu, Jan. Sakit banget tuh pasti apa lagi abis jalan dari parkiran ke ruang ini."

"Tuhkan dia juga masih kuat jalan dari sana ke sini." Sekali lagi Sani menutupi rasa bersalahnya. Janu duduk di kursi. Menunduk pelan melepas sendalnya.

"Udah, Angga. Gue gak begitu parah. Dibanding harus kehilangan momen bareng Sani."

Bagaimana ekspresi Janu ketika mengatakannya? Sudah barang tentu biasa saja dan tetap santai sambil menyandarkan punggung di sofa ruangan. Satu kardus kecil wadah lampu pun melayang ke arahnya. Kiriman dari Angga. Janu berhasil menghindar.

"Masih pagi. Jangan nodai kejomloan hati gue." Tanpa melihat ke arah Janu, Angga mengakatannya seraya mengatur lighting.

Meski kondisi kaki Janu sedang tak sehat, ia tetap berusaha menunaikan tugas sebaik mungkin. Sembari berhati-hati menjaga kaki agar tak ada kaki lain yang nyasar menginjaknya. Kali ini Janu berdiri sedikit membungkuk di depan meja bundar. Kilat hasil jepretannya menyala-nyala. Satu sesi selesai, masuklah ke sesi berikutnya. Meja bundar kembali dihampiri beberapa orang termasuk Sani. Mengolah, menyusun, dan 'menghidupkan rasa' es krim matcha di depan kamera. Sesuai 3 hitungan mundur, kilat cahaya kembali menyambar saat Janu memotretnya. Ia tak sadar, sesekali Sani mencuri pandang pada Janu. Iba, turut merasa nyeri, dan rasa bersalah bergelayut memenuhi jiwa dan pikiran perempuan berkerudung biru itu.

Maka ketika jam istirahat, Sani berusaha berjalan sejajar dengan Janu. Menuju masjid. Berjalan paling belakang dari rombongannya. Mendapati sikap yang berbeda dari Sani, pastilah jantung Janu kembang kempis dengan cepat. Sampai takut bunyinya bisa didengar Sani.

"Maaf, ya. Gara-gara gue, kaki lo jadi sakit. Mudah-mudahan cepat sembuh." Pelan Sani mengatakannya.

Senyum tipis mendarat. Janu berhenti dan menatap Sani sedikit lebih lama. "Terima kasih. Jangan doain gue cepat sembuh, kalau dengan cara sakit ini bisa bikin lo luluh."

Alumni buaya dari pulau mana Janu ini? Keluar dari penangkaran ternyata sangat mengerikan. Tapi ia terlalu merasa aman hingga tak menyangka sebuah pukulan kecil keluar dari Sani. Menggunakan senjata tas mukenanya. Hampir-hampir Janu tersungkur. Beruntung, masih bisa berdiri seimbang. Sani tidak tahu saja, kalau kaki Janu bengkak bukan semata-mata karena injakannya. Tapi setelah kejadian itu, terkena standar sepeda motor yang lupa tidak ia lipat.

Satu persatu hari mereka temui. Di kantor Perusahaan Wills Cream ada begitu banyak hal tampak seolah berbicara dengan sendirinya. Janu tetap dengan 1001 rayu. Sani masih dengan kebiasaan mudah memukul orang lain di kala sebal ataupun tertawa. Husein yang diombang ambing dengan perasaannya sendiri, kerap mencari-cari keberadaan Sani dengan pandangan mata.

Sebelum salat zuhur, Husein mengedarkan pandangan. Tak ada seseorang yang dicari. Selepas salat, pun demikian. Tapi hasilnya nihil juga. Sejak kejadian menolak lamaran Sani, batinnya menentang diri sendiri habis-habisan. Bagai ada dua jiwa yang hidup di raganya. Yang satu bersikeras menyalahkan karena ingin menerima Sani. Satu lagi meneguhkan bahwa keputusannya tidaklah salah.

"Sani kecewa gak, ya? Apa aku masih ada kesempatan?" Pikirannya terjerat pertanyaan-pertanyaan sejenisnya.

Rupanya es krim dari Wills Cream tidak bisa disamakan dengan hati Sani. Tak ada yang meleleh barang sepucuk bagian pun. Tapi Janu tetaplah Janu yang keras pendiriannya dan batu sekali hatinya. Tetaplah Sani yang jadi pemenang. Kabar baiknya, ada satu komunitas mengaji yang bisa diikuti Sani. Membuat perempuan itu semakin bersemangat pulang kerja, karena setelah Maghrib setiap 2 kali dalam seminggu akan diikutinya kajian-kajian di komunitas. Napas Sani banyak leganya karena lokasi pelaksanaan kajian tidak jauh dari rumah. Kadang ia murni berangkat setelah Magrib. Di momen lain juga sempat berangkat pukul 5 sore. Sambil menunggu waktu kajian, maka Sani akan menyibukan diri dengan membaca buku-buku Islami.

Apa yang menggerakan Sani untuk memperdalam ilmu agama? Cintanya pada Husein? Ataukah cintanya pada Allah? Entahlah, kalaupun karena Husein maka biarkan saja dulu. Tingkatan keikhlasannya masih di tahap tersebut. Nanti membaik dan terus membaik, maka berubah semata-mata karena Allah.

***

Semilir angin seolah turut mengiringi permainan gitar yang dipetik Janu. Di balkon kamar, menatap gemerlapnya lampu kota. Jakarta, menjadi tempat perantauannya sama dengan tempatnya pulang. Jauh menenangkan dan menyenangkan dibanding kehidupan di kampung halaman, Lubuk Linggau.

Pelan, bibirnya mulai melantunkan lirik lagu Rindu Rumah. Rumah yang bukan berarti kata benda. Melainkan kata sifat dengan sebongkah kenyamanan. Kian malam, angin luar kian dingin. Janu beranjak masuk. Ketika baru saja hendak menggeser tirai jendela kamar, dering ponsel menghentikan gerakannya.

Janu berdecak malas usai melihat nama yang tertera di layar. Ia biarkan, tetapi kembali menghubungi. Barulah kali kelima Janu terima panggilan.

"Assalamualaikum." Jemarinya menyisir rambut ke belakang.

"Mama akan minta cerai pada Papa. Kamu segera pulang kampung dulu."

Jangan mengira ada umpatan, ada keluhan, atau ada permohonan dari Janu. Setelah mendengar pernyataan dari mamanya, lelaki berambut gondrong itu hanya diam tak berekspresi. Justru memastikan bahwa hanya itu yang ingin disampaikan Mama. Tak ada hal lain lagi, maka Janu memohon diri untuk menyudahi panggilan.

Tirai jendela tak jadi digeser. Sang empunya sudah keburu merebahkan diri di kasur. Menarik selimut. Mencoba terpejam. Sebuah usaha menenggelamkan ingatan busuk nan berisiknya suasana rumah. Perdebatan Papa dan Mama, pembelaan pada adik, kesetaraan yang harus dikejar dengan prestasi kakak.

***

Bersambung.

Beri masukan untuk cerita ini ya. Terima kasih sudah mau membaca.

Melamar HuseinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang