23: FYP

7 2 0
                                    

Bagaimanapun juga, Sani tetap berusaha untuk menuntaskan tanggung jawabnya dengan baik. Akan sangat berbahaya jika projek ini tak berhasil lagi. Bukan tak mungkin, ia menjadi salah satu yang di-black list perusahaan. Masih untung kalau hanya di-black list oleh Super Food, bagaimana jika wanita 50-an tahun itu menyebarkannya dari mulut ke mulut? Habislah reputasi Sani. Sekarang ia sedang menata dimsum dengan properti barang-barang kecil di meja. Fokus dengan tugasnya.

Urusan grup WhatsApp sudah tuntas. Ia masuk di grup, meski hal itu juga tidak 100% menjadi kabar baik baginya. Sani hanya muncul ketika ada hal penting saja. Selebihnya yang menurut Sani tak perlu, tak ia hiraukan. Kadang kehadirannya di grup justru membuat ruang media maya itu yang semula ramai menjadi senyap. Memangnya Sani itu hantu? Dijauhi dan didiamkan saja begitu.

Jangan kira, kegiatan hari ini bisa dilakukan tanpa menghabiskan waktu rapat yang begitu memuakan. Bulak balik diskusi, bulak balik revisi. Sudah seperti akan membuat skripsi.

"Oke, satu, dua, tiga." Cahaya berkilat dari kamera setelah hitungan ketiga. Dilakukan berulang hingga menghasilkan foto yang tepat.

Sani dan teman-temannya beralih pada konsep berikutnya. Kadang ada penyesuaian saat proses pengambilan gambar. Ini berlangsung sampai 3 hari. Empat hari berikutnya, inilah yang sedikit membuat energi baik Sani kembali. Dia puas sekali dengan konsep video yang akan dibuat. Terkesan lebih segar, unik, sekaligus  lucu. Ide yang didapat ketika dia sedang nongkrong buang hajat di kamar mandi. Alangkah tidak enaknya jika diceritakan ulang di depan khalayak karena ide videonya adalah tentang makanan, dihasilkan ketika proses pembuangan. Ia saja bergidik ngeri sendiri jika  mengingatnya.

"Coba diulang," ujar Sani. Tepung meluncur dari atas ke bawah. Ini dan semua prosesnya tampak biasa saja jika dilihat sekarang. Tak ada gambaran akan secantik apa videonya. Sebab kunci berikutnya ada di tangan editor. Editing warna, kecepatan objek bergerak, dan serangkaian kegiatan editing yang menyertainya. Ketika video telah selesai diedit, seluruh anggota dan klien duduk bersama menyaksikan hasilnya. Berdiskusi kembali demi mencapai titik maksimal 99% video disetujui.

"Nah, ini!" Semua mata memandang wanita 50-an tahun itu. Senyum dan mengelus dada karena sudah lepas beban mereka dari projek yang membuat naik darah. Seluruh foto dan video sudah disetujui, pembayaran juga telah dilakukan. Kalau sudah begini, netizenlah yang akan memberi penilaian. Sani tak peduli, terpenting ia sudah selesai tanggung jawabnya dan klien puas. Karena energinya sudah banyak dikuras, walau di projek sebelumnya ia selalu antusias untuk melihat respons calon konsumen. Jika banyak yang tertarik, maka itulah endingnya. Jika sedikit yang tertarik, maka sebenarnya bagi Sani projek belumlah selesai.

***

"Bisa gitu, ya. Cepet banget orang-orang viralnya terus mendadak diundang ke televisi." Sani menopang dagu, melihat layar ponsel. Dunia cepat sekali berubahnya, sekarang hanya dengan video goyangan saja sudah viral. Anehnya televisi berburu memberi apresiasi dengan mengundang mereka.

"Nanti juga cepet redupnya tuh." Alia mengeluarkan beberpada dessert dari tasnya.

"Emang ibu atau adik-adik gue pesen dessert, Al?"

Alia mengangguk. "Pesennya, sih, 2. Gue kasih lebihan 2 lagi. Jadi 4."

"Em, gak usah, deh. Ini usaha lo pake modal. Nanti lo rugi gimana?"

Tawa kecil Alia keluar. "Apa, sih, lebay. Bukannya lo juga percaya kalau matematika Allah itu gak bisa dinalar manusia?"

"Baiklah Alia-ku. Makasih, ya. Satu buat gue makan, deh."

Tiga dessert Sani angkut ke dapur. Kembali lagi ke ruang tamunya dengan membawa salad buah dan beberapa toples biskuit. Tiba di ruang tamu, ternyata Ari sudah datang. Kali ini Ari membawa gitarnya.

Melamar HuseinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang