Selembar surat kabar keluaran tahun 1945 diletakan di atas plastik mylar. Kondisinya yang sudah nyaris rapuh membuat Husein memutuskan untuk mengenkapsulasi surat kabar tersebut. Lelaki itu pelan-pelan mengatur kanan, kiri, atas, dan bawah bagian kertas agar proporsional menyisakan tempat untuk double side tape. Ia sangat teliti dan cekatan melakukannya. Meski menjadi pustakawan bagian preservasi bukanlah pilihan Husein. Tapi kebahagiaannya ternyata tetap menyertai. Ia bahagia bisa menyelamatkan arsip dan naskah-naskah penting demi keberlangsungan ilmu pengetahuan dan informasi yang dibutuhkan banyak pihak.
Kedua tangan ditepukan perlahan usai menyelesaikannya. Surat kabar ini sudah jauh lebih aman untuk digunakan pemustaka (pengunjung perpustakaan) atau digunakan dalam pameran. Melirik jam di pergelangan tangan, sudah waktunya istirahat. Satu jam lagi ia harus salat Jumat.
Jakarta, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia menjadi tempatnya mengabdikan ilmu. Menjadi tempatnya untuk kembali berperan dalam pelestarian perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sekarang, Husein akan menuju masjid terdekat dari Kecamatan Senen. Tugasnya memang di gedung perpustakaan nasional yang lama. Nanti usai salat Jumat, ia akan bertandang ke perpustakaan nasional yang terletak di Kecamatan Gambir untuk suatu keperluan.
***
Sebuah mobil CRV putih terparkir di halaman Perpustakaan Nasional RI. Perempuan dengan blazer putih keluar dari mobil tersebut.
"Tema gue hari ini menyatu dengan mobil kali ya? Jadi putih-putih gini."
Blazer putih, rok putih, untunglah jilbabnya tidak putih. Ah, ia merasa sudah seperti seorang dokter spesialis saja. Tapi motif batik di bagian kerah panjang blazer membuatnya justru jadi seperti seorang budayawan.
"Sani memang selalu cocok di berbagai situasi. Gitu gak, sih? Apa lagi di situasi sebagai istrinya Kang Husein." tanyanya pada diri sendiri sambil tersenyum geli.
Sadar ia sedang berada di tempat umum, segera Sani sudahi memandang-mandang diri sendiri. Langkahnya pergi mulai memasuki gedung perpustakaan. Yang tercatat sebagai gedung perpustakaan tertinggi di dunia.
Sebelum menuju lokasi acara, Sani memilih duduk sejenak di salah satu kursi lantai 1. Membuka kembali berkas susunan acara dan inti pertanyan yang akan dikupas habis. Kepalanya mengangguk-angguk, sesekali tampak berpikir, tiba-tiba mood-nya turun setelah melihat lagi nama Janu ada di sana. Sani memang baru tahu Janu sebagai narasumber juga setelah undangan dan lampiran susunan acara resmi dikirim kepadanya. Jika tahu sejak awal ada Janu, pasti ia tak akan mau.
Sani kembali memasukan berkas ke dalam map. Ia menggerutu sendiri dengan acara nanti. Kedua kakinya dientakan. Mapnya dipukul-pukul pelan. Janu yang menyebalkan, bagaimana kalau dia bertindak aneh-aneh pada Sani di atas panggung? Seperti yang sudah-sudah.
"Permisi, Mba."
Sani terperanjat. Seketika ia berdiri.
"Eh iya ada apa, Mba? Gak boleh duduk di sini, ya? Maaf-maaf."
"Bukan, Mba. Ini Mba Sani Zaahirah, kan?"
"Iya benar, kok tahu saya, Mba?"
Perempuan berpakaian batik itu menunjukan kartu identitas yang terkalung. Barulah Sani menyadari. Tapi tak hanya itu, ditunjukan juga sebuah poster acara berukuran cukup besar di dekat eskalator. Terdapat foto dirinya, Janu, dan seorang pengusaha terpajang jelas di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melamar Husein
SpiritualBukankah tidak ada solusi bagi 2 orang yang saling mencintai selain menikah? Jika keduanya telah mampu. Tapi bagaimana kasusnya jika seperti yang dialami Sani pada Husein? Sani mencintai Husein sejak ia duduk di bangku SMP. Cintanya memang tidak beg...