19: Ada yang Datang

10 2 4
                                    

Perpustakaan Nasional RI sedang gencar dengan program inklusi sosial. Lantas menjadi topik paling menarik di setiap diskusi baik dalam perpustakaan daerah provinsi maupun perpustakaan desa. Pun demikian dengan diskusi Herang Pustaka di sudut desa Kabupaten Sumedang. Mereka sudah mendapat arahan dari Husein untuk menunaikan program inklusi sosial. Sebuah program yang diinput dari membaca lantas outputnya berupa karya yang bisa mendorong kesejahteraan. Fokusnya, dimulai dari internal tim Herang Pustaka.

Cangkir-cangkir berisi es teh di hadapan Kang Rusdi sudah tandas. Matahari yang cukup terik membuat ia dan teman-temannya lebih banyak minum. Dari layar laptop, Husein tampak menyisir rambut.

"Alhamdulillah ada yang mau memberi modal untuk program kita. Dengan sistem bagi hasil."

Dari sebuah buku tentang membangun usaha dari kelas terkecil, Husein mendapat pencerahan. Buku kecil di tangannya terdapat coret-coretan penuh warna. Hasil dari menimbang dan mengukur kapasitas yang ada agar tak kelebihan. Ia tuturkan dengan runtut bagaimana sistem tersebut akan berjalan nantinya.

"Dengan pembagian 10% untuk pemberi modal, 10% untuk Herang Pustaka, 10% untuk pengembangan program, dan sisanya 70% untuk pelaku usaha. Begitu amanah dari pemberi modal. Kira-kira bagaimana?"

Lilia buka suara. Menurutnya, sistem seperti ini sudah bagus, untuk semua yang berperan. Sehingga tak ada yang memakai kiblatnya pada pengandaian lilin yang menyala. Menyala untuk sekitarnya dengan mengorbankan diri sendiri.

"Tak hanya menghidupi, tapi juga dihidupi. Ini sistem yang bagus untuk keberlangsungan Herang Pustaka." Demikian tutur Lilia.

Kang Rusdi mengangguk. "Sebagaimana kita tahu, kalau selama ini langkah terberat dari pekerja sosial adalah keuangan. Mudah-mudahan ini bisa membantu Herang Pustaka ya, Kang."

Segaris senyum Husein terpampang nyata di layar laptop. Hatinya penuh, semangatnya bertambah, syukurnya membuncah. Betapa nikmatnya diberi teman-teman yang satu frekuensi seperti ini. Programnya mulai dijalankan satu bulan kemudian. Lilia dan Sifa yang mengawalinya sebagai pelaku usaha kecil. Menjual pulsa handphone, pulsa listrik, dan paket data. Sebuah usaha yang cukup mudah untuk dilakukan, karena dengan modal kecil, tanpa perlu banyak kebutuhan di awal. Cukup mendaftarkan diri dan isi saldo saja. Awal-awal, penjualan pulsa dengan saldo 1 juta bisa terjual 1 minggu dengan keuntungan 75 ribu. Saat ramai pembeli, saldo 1 juta bisa saja habis 1 hari. Tak perlu datang langsung ke toko untuk isi saldo, cukup transfer saja sudah bisa. Sistem pembayaran pulsa pun perlahan ditambah, menyambut dan mengikuti alur yang sedang berkembang dengan adanya dompet elektronik yang didirikan oleh perusahaan fintech. Sedikit demi sedikit, pola pengembangan komunitas bisa dilakukan Herang Pustaka. Mereka menambah program baru untuk bisa mendekatkan buku pada masyarakat. Bekerjasama dengan warung-warung kecil sekitar, buku dititipkan di sana untuk dibaca secara gratis.

"Karena kita tahu, bahwa ke warung bukan hanya untuk keinginan tapi juga untuk belanja memenuhi kebutuhan. Maka dengan program Jajan Buku ini, sedikit demi sedikit bisa mengenalkan dan mendekatkan buku. Sambil menunggu, mereka mungkin liat-liat buku dulu. Lama-lama, mereka tertarik untuk membaca. Anak-anak hingga orang dewasa lebih sering pergi ke warung, kan daripada ke perpustakaan?"

***

Suti, ibu Sani mengusap kepalanya. Setelah mendapat kabar kalau emaknya di kampung sedang sakit. Sudah 10 hari tak jua sembuh. Biasanya hanya 1 sampai 3 hari saja sudah sembuh. Penyakit orang lanjut usia yang tak jauh-jauh dari sakit pinggang dan katanya masuk angin saja. Ia akan segera mengajak Sani untuk pergi ke Sumedang. Dira dan Maul biarlah saja di sini, karena mereka belum libur sekolah.

Kini Suti duduk di sofa ruang tamu. Sore yang teduh nyaris padam menyambut Azan Maghrib. Dira duduk di sebelahnya sambil membaca majalah.

"Tetehmu kok belum pulang juga ya?"

"Em, coba Dira telfon ya, Bu."

Panggilan pun masuk ke ponsel Sani yang tak berdering. Ia baru beranjak dari tempat duduknya setelah mengikuti liqo amah Yanti. Panggilannya usai seiring dengan azan maghrib berkumandang menyelimuti seisi kota Jakarta. Esoknya, ia pergi dengan ibu ke Sumedang. Menunda projek pertama Sani setelah perginya Janu ke Pariaman, Sumatra Barat. Ah, ia jadi kepikiran Janu. Bagaimana kabar lelaki itu? Satu bulan menghilang di kehidupan nyata, bahkan di media sosialnya juga. Wajah Janu terbayang di mata Sani. Meski yang berada di pandangannya kini adalah tebing tinggi dan curam yang berkelok.

"Ngomong-ngomong, gimana kabar temanmu yang jail itu, Neng?"

Sani menoleh ke wajah ibunya. Pikirannya cepat tanggap paham siapa yang ibu maksud. Sekuat itukah frekuensinya dengan ibu? Sampai-sampai ibu seolah tahu siapa yang mendadak Sani pikirkan. Tapi, kenapa juga ia memikirkan Janu? Sungguh tidak penting, kan? Bukannya bersyukur tak ada yang mengganggu lagi.

"Maksud ibu temanku yang namanya Janu?" tanya Sani. Ibu mengangguk.

"Gak tau, Bu."

"Kayaknya dia orang yang baik, ya? Walaupun sering jail. Tapi mungkin itu caranya supaya dapat perhatian supaya jadi teman kamu."

Sepasang mata Sani nyaris melompat meninggalkan kelopaknya. Hih, kenapa ibu jadi begini? Janu tak ada baiknya. Bisanya hanya mengganggu, membuat kesal, dan membuat sebal Sani. Tidak seperti Husein, yang baru dipandang saja sudah menyejukan hati. Pujaan hati memang beda auranya.

"Gak ada baik-baiknya, Bu si janur ijo itu mah." Setelah mengatakan ini, seperti ada yang berbisik di telinga Sani. Membuatnya teringat dengan pemberian Janu. Kotak biru yang belum ia buka sampai hari ini. Entahlah, bodo amat. Tak ingin tahu apa isinya.

***

Kapan lagi bisa memetik daun singkong langsung dari pohonnya kalau bukan saat Sani di rumah Nini (nenek dalam bahasa Sunda)? Butir-butir embun seperti bertumpahan saat ia bergerak memetik. Hangat matahari pagi masih belum terasa. Hingga Sani usai memetik daun singkong, ia kembali ke rumah Nini di sebrang jalan, di depan warungnya.

Berjalan di gang kecil dan menanjak seperti ini hanya Sani rasakan ketika di kampung saja. Sempit, tapi motor masih bisa masuk. Ngeri melihatnya. Kalau musim hujan, mungkin jalannya akan licin dan tentu berbahaya. Sampai di rumah Nini, napas Sani tampak jelas naik turun. Lelah sekali.

Tak perlu menunggu waktu lama, rumah kecil itu telah harum dengan sambal terasi yang disajikan utuh di atas cobek batu kecil. Daun singkong sudah direbus, terlihat menggulung diri sepiring dengan daun kemangi dan kol mentah. Piring yang lain penuh dengan lele, tempe, dan tahu yang telah digoreng. Satu per satu piring kosong mulai Sani isi dengan nasi, untuk ibu, nini, dan dirinya. Kondisi nini masih cukup baik, bahkan lebih baik setelah Sani dan ibunya datang. Namun perlu mengurangi aktivitas sementara waktu, karena kakinya masih membiru karena terpeleset di jalan.

"Masya Allah, enak pisan masakan kamu, Neng."

"Iya atuh, siapa dulu nininya? Ni Onah gitu, idolanya masyarakat sini. Pinter masak, nurun ke aku."

Ibu tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Jadi kalau ibu gak pinter masak, ya?"

"Pinter atuh, Ibu Sutiii gitu loh. Anaknya Nini Onah yang mewarisi gen terbaik."

Pagi yang hangat, sehangat rindu nini  yang sempat menggigil kedinginan pada anak dan cucu-cucunya.

Obrolan mereka sempat terhenti ketika mendengar seseorang dari luar mengucap salam. Sani memastikan lagi, memasang telinga baik-baik. Benar ada yang mengucap salam. Suara perempuan. Ia segera mencuci tangan untuk membukakan pintu.

Ketika pintu dibuka, Sani mendapati seorang perempuan berjilbab hitam tersenyum padanya dan seorang lelaki yang memberinya tatapan kaku. Ini masih pagi. Kenapa harus ada adegan seperti ini?

Bruk! Pintu kembali Sani tutup. Ia tidak siap. Sungguh.

***

Bersambung

Makasih atas feedbacknya. 💖
Mau sedikit cerita, kalau Herang Pustaka di cerita ini terinspirasi dari komunitas Pustakaloka Cendekia yang aku buat bersama teman-teman. Kalau mau liat aktivitas kami, bisa cek di IG (pustakaloka.cendekia).

Next? Komen dulu ya😗

Melamar HuseinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang