6: Asal Berjodoh

5 2 0
                                    

Pukul 3 sore acara sudah selesai. Beberapa peserta memanfaatkan kesempatan ini dengan foto bersama narasumber, tak terkecuali Sani. Profesinya yang terbilang unik, sedikit dilakoni, hari ini sukses membuat nol sekian persen manusia tahu dan ingin mengikuti jejaknya. Bagi perempuan itu sendiri, food stylist bukan sekadar profesinya. Tapi sekaligus style hidup Sani juga. Bahagianya, sedihnya, perjuangannya, keberhasilannya, masuk melalui jalur food stylist yang tak digadang-gadang sebagai profesi idaman masyarakat.

"Iya, jadi seorang food stylist membuat saya mengerti bahwa makanan dan minuman bukan hanya perihal rasa ketika dia sampai di lidah kita. Tapi sejak proses memasak, menata style-nya, meratukannya di hadapan kamera, " tutur Sani. Ia sekarang ada di ruang makan tamu VVIP, satu meja dengan Janu dan Amar Diharjo.

"Kalau kamera memang sekadar kata benda, tapi kamera juga seperti lidah dan hati. Kamera bisa bicara bagaimana rasa dan keindahan makanan atau minuman pada orang lain hanya dengan sepotong visual 2 dimensi." Janu melanjutkan. Membuat Sani berhenti memotong steak. Lantas tersenyum mengangguk-angguk.

Pak Amar melonggarkan kerah bajunya. Sepasang matanya berbinar mendengar penuturan Sani dan Janu. Ah, sebenarnya sejak di atas panggung tadi ia terkesima. Maka kesempatan duduk 1 meja dengan dua anak muda itu jadi momen yang sangat ditunggunya. Ia meneguk sedikit air putih sebelum berbicara.

"Saya setuju dengan perkataan kalian barusan. Makanan dan minuman rasanya tidak hanya ketika sampai di lidah dan kamera yang bukan hanya benda mati. Wow. Menakjubkan. Sebagai direktur F&B, saya angkat topi untuk kalian."

Pak Amar terkekeh kecil. "Selama ini saya tidak turun tangan dalam pemotretan produk, karena sudah ada divisinya sendiri. Di mana saya bisa melihat portofolio kalian?"

"Bisa di Linkedin atau Instagram, Pak kalau punya saya." Sani menjawab.

"Oke, Instagram saja." Amar menyerahkan ponsel agar Sani mengetikkan username Instagramnya. Lelaki berkumis tebal itu menggeser-geser layar ke atas dan ke bawah. Tersenyum, mengacungkan dua jempol pada Sani.

"Kalau Janu, sepertinya tidak perlu saya lihat portofoliomu."

Pernyataan Amar membuat Janu mengangkat sebelah alisnya. Seolah tahu apa yang Janu pikirkan, Amar berkata, "Portofoliomu sudah banyak yang bekerjasama dengan Sani. Jadi sama saja, kan?"

"Iya, saya memang sering bekerjasama dengan Sani, Pak. Partner terbaik saya."

Bisa-bisanya lelaki itu memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Seketika membuat Sani menginjakan kakinya ke atas kaki Janu. Sani harus memberi pelajaran yang tak tertanggungkan! Nahasnya, Janu seolah tahu. Ia langsung memindahkan posisi kaki. Sani kian geram.

"Saya suka dengan style foto produk yang kalian buat. Sepertinya cocok untuk calon produk saya yang akan keluar beberapa bulan lagi. Kebetulan belum sampai ada perencanaan untuk pemotretan produknya. Saya harap, kalian mau bekerjasama dengan saya." Amar mengusap bibirnya dengan sapu tangan. Menyisir pandangan pada Sani dan Janu. Mereka berdua, justru saling menatap. Sani dengan perasaan terjajahnya, Janu dengan kemerdekaannya.

***

Langkah kecil Sani bergerak aktif mendatangi satu per satu layanan yang ada di perpustakaan. Setiap sepuluh menit tak melihat target, Sani pindah pada layanan yang lain. Begitulah terjadi berturut-turut hingga ia jadi mengurut kaki sendiri saat tiba di layanan manuskrip terbuka. Sani duduk di anak tangga sambil menselonjorkan kedua kakinya. Melepas sepatu yang berhasil membuat tumitnya memerah. Sani mencari Husein, dia bertanya-tanya lelaki itu sekarang ada di mana?

Sanilah, definisi dari malu bertanya sesat di perpustakaan! Malu bertanya tersesat di hati Husein! Malu malu malu! Tapi ketika pertemuan Sani dengan Husein seperti tadi, ia tak pernah punya malu! Astaga.

Di balik salah satu rak tinggi, tanpa Sani sadari ternyata Husein ada di layanan itu. Husein mengetahui keberadaannya. Ia sedang melihat Sani dari celah rak. Namun, entah apa yang sedang lelaki itu cari, sampai tak sempat menghampiri Sani. Hanya terkungkung pertanyaan di kepala, "Loh, dia masih di sini? Ngapain?"

Usai menemukan apa yang dicarinya, Husein bergerak menuju Sani. Bahkan belum sempat memanggil, Sani sudah lebih dulu beranjak dari tempat duduk. Keluar dari layanan monograf terbuka. Alhasil Husein hanya bisa menggaruk kepala yang tak gatal.

***

Hari ini adalah hari penuh pertanyaan sejagat kepala dan hati Sani. Lama tak jumpa dengan Husein, sekali berjumpa membuatnya melulu bertanya-tanya. Di mana Husein? Untuk apa dia ada di Jakarta? Kapan mereka akan tak sengaja bertemu lagi? Sampai-sampai, Sani tak sempat memikirkan tawaran dari Amar. Padahal tawaran direktur sepertinya bukanlah kaleng-kaleng apa lagi kaleng rombeng. Jadi perihal harga tak ada yang bisa ducuriga akan kecil nilainya. Tapi namanya orang sedang jatuh cinta, tak bisa diganggu gugat kegalauannya oleh siapa pun.

Sudah duduk di ruang kerja, Sani kembali ke kamar. Sudah di kamar, Sani pergi ke kolam renang. Sudah di kolam renang, ia sudah akan menceburkan diri. Tapi ibu keburu memanggilnya karena mendapat laporan dari Dira kalau Sani akan berenang jam 9 malam begini.

"Renang terusss, masuk angin baru nyaho kamu, Neng."

Sani mencebikan bibir. Baru kali ini ia akan berenang lagi setelah 5 hari tak melakukannya.

"Kepala aku teh panas, Bu. Pusing pisan ih."

"Aih kamu, Neng. Liat-liat atuh emangnya ini jam 9 pagi? Malem, Neng. Kalau masuk angin, pokoknya harus dikerik pake duit lima ratusan perak." Bicaranya ibu memang tidak keras, tapi sukses membuat Sani beringsut menjauh dari kolam renang. Tak bisa dibayangkan jika masuk angin, uang koin akan menyiksa tubuhnya sampai merah-merah. Zebra pun bisa kalah belang dengan Sani jika ibu yang mengerik.

Waktu kian larut, Dira dan Maul sudah di kamar masing-masing. Sedangkan Ibu dan Sani masih di ruang tengah. Ibu sadar, ada yang sedang membebani anak sulungnya. Sani yang lebih senang menyimpan beberapa 'genre' cerita hidupnya sendiri. Tanpa membagi pada ibu.

"Kamu teh lagi kenapa atuh? Pusing kerjaan?"

Sani menggeleng saja. Menatap lurus pada layar televisi.

"Cerita sama ibu." Tangan ibu meraba-raba, meraih tangan Sani. Digenggamlah tangan itu.

Tak banyak bicara, Sani hanya memeluk ibu. Malam-malam begini bukan lagi pertanyaan yang diperam Sani perihal Husein. Ia hanya merindu. Rindu yang tiba-tiba datang dan entah karena apa. Meski tadi bertemu, nyatanya tak bisa jadi pelipur. Rindu, lelah, dan sesaknya menahan cinta diam-diam justru kian membuat Sani babak belur.

Sani memeluk Ibu, membiarkan air matanya beruraian di pakaian ibu. Tadi ia sudah mencari tahu kenapa Husein bisa ada di Jakarta. Melalui akun Instagram Heran Pustaka, jawaban ia dapatkan. Di sana tersaji postingan ucapan selamat atas lolosnya Husein sebagai pegawai ASN Perpustakaan Nasional RI. Sani senang karena kini mereka satu kota. Tapi juga sedih, karena sejauh itu Sani dengan Husein. Tak tahu apa-apa tentang hidup pujaan hatinya. Tahunya hanya mencintai diam-diam, merindukan tanpa alasan.

Rumit.

Beberapa menit kemudian, Sani tersadar. Lihatlah mood-nya bisa seketika berubah.

"Jangan-jangan emang jodoh! Makanya sekarang gue sama Husein bisa satu kota! Aaaaa!!!" Ia melepas pelukannya pada ibu. Senyum lebarnya bermekaran di malam hari begini.

"Gapapa seberat ini cintanya, asal emang jodoh aja ya Allah. Gak muluk-muluk."

Ruang tengah itu pun kini sunyi. Ibu sudah pindah ke kamar. Sani pun demikian. Tidur membawa rindu, sedih, bahagia, dan doa-doa.

***

Melamar HuseinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang