8: Olahraga di Monas

6 2 0
                                    

Namanya saja kota, seolah denyut kehidupan masyarakat di jalan tak ada hentinya. Tak ada sunyinya. Suara kendaraan silih berganti meramaikan langit-langit. Itulah yang dipikirkan oleh Husein ketika ia berjalan menyusuri gang menuju kosan setelah salat subuh di mushala terdekat. Sajadah yang tersampir di pundak ia turunkan ketika sampai di kos. Lantas ditaruh di atas lemari plastik tempat perlengkapan salatnya. Sesaat, lelaki berkulit kuning langsat itu mengecek sayuran di rak. Tersisa sayur bayam yang sudah layu, dibelinya kemarin sore sepulang kerja. Pagi ini ia akan memasak. Sebelum bergegas ke dapur umum, Husein mengganti pakaian koko dengan kaus hitam polos.

"Enaknya disayur kali ya? Apa direbus aja terus bikin sambel terasi?" Ia berkacak pinggang. Mengacak-acak rambut. Membuat pikirannya melanglang buana pada masakan ambu di rumah. Biasanya tak perlu pusing berpikir akan makan apa, hanya sedikit-sedikit membantu Ambu di dapur saja.

Hati Husein dengan hati sang ibu rupanya tersambung begitu erat. Baru akan mengupas bawang merah, ponsel di saku celananya sudah berdering. Ada panggilan masuk dari Ambu.

"Assalamualaikum. Masya Allah, Ambu baru aja Husein teh kepikiran sama Ambu. Eh pas pisan Ambu langsung nelfon."

Suara ambu diperbesar. Ponselnya disandarkan pada sebuah toples kosong. Obrolan mereka hilir mudik sambil Husein memasak seikat bayam. Telfon pun berakhir seiring dengan usainya ia memasak. Tirai jendela kamar dibuka, tampak langit yang kian terang. Lampu-lampu rumah sekitar juga sudah banyak yang dimatikan. Sebelum olahraga, Husein akan sarapan dulu. Selagi hari ini libur, maka akan dimanfaatkan untuk berolahraga di sekitar Monas.

***

Sebuah piring kecil telah diisi potongan buah semangka dan nanas. Menjadi penutup dari sarapan Sani pagi ini.

"Teh, mau bubur kacang ijo?" Dira menghampirinya.

"Enggak, deh. Teteh kan mau olahraga, nanti kekenyangan." Bahkan melihat menu sarapan di hotel yang sangat beragam membuat Maul sudah kenyang melihatnya.

"Tumben olahraga."

"Yeee, bersyukur atuh harusnya."

Ketika kembali di meja, ibu sedang menyeruput air teh hangatnya. Sementara Maul masih memainkan ponsel, menelantarkan makanan yang tersisa di piring.

"Dek, kamu makannya udah?"

Tak ada jawaban dari pertanyaan Sani. Maul tetap seru sendiri memencet layar ponsel. Tatapannya tajam, tangannya bergerak-gerak, bibirnya berbicara bahasa Inggris entah dengan siapa.

"Maul."

Perempuan berambut pendek itu mendongak. Sedikit terkejut dengan kehadiran Sani.

"Apa?"

"Makannya udah?"

"Belum." Maul cepat menyendokan makanannya dengan tidak melepaskan ponsel di tangan.

"Kalau makan yang benar, Dek. Gak enak juga kalau diliatin banyak orang." Menyadari situasi yang sedang terjadi, Ibu segera menasihati.

"Kenyang. Gue balik ke kamar aja." Sebelum berlalu, Maul mendorong piringnya ke tengah meja dengan sedikit kasar. Pagi-pagi begini sudah ada banyak api di jiwa Maul. Dari permainan di ponsel dan hubungannya dengan ibu serta sang kakak. Kian erat bukan kian hangat. Kepergian Maul membuat Sani terus menatapnya geram hingga punggung sang adik menghilang.

Melamar HuseinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang