17: Ditangkap Polisi

9 2 3
                                    

Tatapannya sangat fokus dan dalam. Memandang wajah ustad dan ustadzah, sepasang suami istri yang menjadi pemateri di kajian bulan ini. Pesan yang sangat hangat menyusup hingga relung hati terdalam Sani. Perihal cinta yang tak pernah berujung, jadi bagian menarik di kehidupan para jomlo sepertinya. Sekaligus bagian menakutkan karena takut salah ambil langkah.

Sani merapikan jilbabnya yang terasa meleyot. Meniup dan kembali fokus meresapi apa yang sedang disampaikan ustadzah. Meski mudah sekali Sani mengganti posisi duduk karena memang pada dasarnya ia tak bisa diam. Kalaulah bukan di tempat kajian, sudah pasti ia berdiri, duduk, pindah tempat, dan akrobat? Ah berlebihan. Intinya, Sani tak bisa duduk anteng dengan waktu lama. Tak bisa. Padahal, ini saja baru berlangsung 20 menitan. Masih ada 10 menit ke depan, mudah-mudahan ia tak sampai kesurupan karena terlalu lamanya duduk.

"Saya lihat, antum sekalian ini masih pada muda. Pasti masih pada jomlo ye?"

Banyak sekali yang mengiyakan pertanyaan ustadzah.

"Nah ini die. Virus merah jambu, kata banyak orang. Bahayanye anak mude jatuh cinte adalah karena sifat keras kepalanye. Susahhh banget diomongin.

Maka artinya ape? Artinye, penjagaan cinta dari seorang pemuda adalah tergantung dari kukuh atau rapuhnya iman dia. Tergantung dari panggilan hatinya yang lebih tertuju kepada Allah atau kepada rayuan syaiton? Seribu nasihat pun gak akan mempan kalau hatinya membatu, hatinya keras. Maka anak muda, adik-adikku yang saleh dan salehah. Tolong jaga imannya. Jaga cintanya untuk Allah. Naudzubillah kalau cinta kalian lebih besar kepada manusia daripada kepada Allah. Hingga akhirnya apa? Terjerumuslah dengan hal-hal yang mendekatkan pada zina.

Mudah-mudahan, Allah bantu antum semua agar menjaga fitrahnya cinta karena Allah semata. Bukan karena takut ditolak cintanya sama si dia."

Seisi masjid seketika riuh dengan tawa jamaah. Ada yang sekadar tersenyum simpul. Beberapa mencolek bahu temannya. Seolah mengerti, bahwa selama ini menjaga bukan karena Allah, tetapi karena takut bertepuk sebelah tangan. Tak terkecuali Sani. Pernyataan yang baru saja masuk ke telinganya, membuat ia berpikir lebih banyak.

Karena apakah aku menjaga diri dari Kang Husein? Karena cintaku pada Allah yang lebih agung atau hanya karena takut menerima penolakan?

Ia kemudian menarik napas dengan sangat berat. Mengembuskannya perlahan. Materi kajian masih berlanjut. Berlayar pada kisah cinta Siti Khadijah, istri pertama Rasulullah SAW. Sang pebisnis hebat nan indah kedermawanannya. Mengorbankan harta untuk mendukung Rasulullah dalam mensyiarkan Islam.

Kisah cinta bunda Khadjah r.a berhasil membuat Sani tersenyum-senyum. Terbayang jelas sekali di kepalanya bagaimana ketika Bunda Khadijah meminta bantuan seseorang untuk melamar Rasulullah. Ya, seorang perempuan terbaik yang mengajukan lamarannya lebih dulu pada nabi.

Mungkinkah, hal yang sama akan Sani lakukan? Meski diri tak seindah Bunda Khadijah r.a.

Meski aku tak seindah, setangguh, dan sehebat Bunda Khadijah. Tetapi, izinkanlah aku ...

Tak tuntas. Tadinya ia membatin membuat kata-kata mutiara. Tapi sulit sekali. Sudah mentok. Maka akhirnya Sani mengerucutkan bibir. Membawa langkahnya keluar dari masjid menyusul jamaah lainnya, seusai acara.

***

Lampu kendaraan menyala di sepanjang jalanan. Mobil, motor, salip menyalip ingin lebih dulu. Dari kejauhan, sebuah mobil CRV putih begitu mencolok karena kecepatannya yang lambat sekali. Menemui lampu merah, ia berhenti. Lampu hijau menyala, tak bersegera menginjak gas. Meski di belakangnya kendaraan lain sudah menyalak-nyalak dengan klaksonnya. Sani, si pengendara sedang merenungi apa-apa yang didengarnya hari ini. Sebenarnya tak ada yang mengkungkung kepala perempuan itu. Pikirannya pun tak sedang menembus lamunan-lamunan nun panjang dan luas. Ya, cukup merenung. Mengevaluasi diri dengan dasar ilmu dari kajian yang baru didapatnya.

Melamar HuseinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang