Sungguh Sani belum siap untuk bertemu lagi. Terakhir bertemu saat kejadian di perpustakaan Wilss yang membuat kenangan malunya kian menumpuk.
"Lho, mana tamunya, Neng?" Nini dan ibu menghampirinya.
"Em, itu, Ni-"
Belum sempat menjawab, dari luar sudah pintu sudah diketuk lagi.
"Buka atuh, kasihan."
Dibuka atau kabur saja?
"Neng, tolong dibuka pintunya." Ibu menimpali.
Aduh, sepertinya kabur pilihan yang baik. Tapi sudah telanjur basah, jadi lebih baik berenang saja sekalian.
"Ah, iya deh." Terpaksa Sani membukakan pintu lagi.
"Oh, Lilia ya?" Nini tersenyum menyambut tamunya.
"Iya, Ni. Kumaha kabarnya?"
"Alhamdulillah sehat. Ayo duduk."
Sudah tahu, kan siapa yang datang bersama Lilia? Sampai membuat Sani menabung malu lagi dengan tingkahnya yang absurd itu.
Kehadiran Lilia dan Husein ternyata untuk menukar buku di warung Ni Onah. Sekaligus mengevaluasi program Jajan Buku di sana. Kemarin, Husein mendapat tugas dinas di Perpustakaan Provinsi Jawa Barat sebagai narasumber seminar arsip vital. Mampirlah ia ke Sumedang, pulang menemui keluarganya dan Herang Pustaka. Pagi ini tak hanya Sani yang terkejut, ia pun demikian. Bumi sebesar ini, bisa-bisanya ia bertemu Sani lagi. Senang memang, tapi ada bagian lainnya yang membuat pertemuan ini inginnya tidak terjadi.
"Ini, minumnya. Silakan." Setelah meletakan dua gelas teh, Sani berjalan cepat kembali ke belakang. Berdiri di balik tirai pintu, mengaktifkan pendengaran dengan sebaik-baiknya.
"Ada yang cuma penasaran sama isi kotak bukunya, ada juga yang baca selembar atau 2 lembar."
"Anak-anak ada yang datang, Ni?" tanya Husein.
"Ada, wah kalau anak-anak mah top pisan. Banyak yang suka baca buku."
Husein tersenyum. Kabar yang cukup menggembirakan dan membuat semangatnya menyala-nyala. Masih ada beberapa pertanyaan yang harus disampaikan. Tapi juga ada buku-buku yang harus diganti.
"Karena ngejar waktu, Kang Husein sambil tukar bukunya aja yang di warung. Gimana?"
"Tapi, bukannya warung Nini lagi tutup ya, Li?"
"Tenang aja, Nini minta bantuan si eneng dulu ya."
Baru mendengarnya saja Sani sudah terkesiap. Nampan di tangannya jatuh. Mampuslah, ia menjadi pusat perhatian saat ini.
"Neng, kunaon?"
Sani menggeleng kaku menjawab pertanyaan nini. Menggeleng lagi tapi kemudian mengangguk setelah nini memintanya untuk membukakan warung. Ini benar-benar gawat! Gawat darurat. Jalan di gang kecil itu membuatnya harus berjalan di belakang Husein. Melihat punggung tegap dan tingginya yang gagah, indah, bagaimana rasanya jika dipeluk? Allahu akbar, isi kepala Sani kenapa jadi begini? Ujian yang sangat berat.
Sampai di pintu warung, Sani menggerakan tangannya untuk membuka gembok. Tapi, hei kunci tidak ada di tangannya! Sani menutup tangan dan membukanya lagi, tetap tidak ada.
"Sebentar, kuncinya ketinggalan kayaknya."
"Tadi Ni Onah udah kasih kamu kuncinya, kok."
Alis Sani terangkat sempurna. Benarkah? Berarti kuncinya hilang.
"Em, kamu di sini aja. Biar saya yang cari kuncinya."
Ah, Sani ingin melompat-lompat rasanya. Husein bukan hanya tampan, tapi juga baik. Husein baik padanya! Apakah itu artinya Husein menyukai Sani juga? Seketika Sani langsung berpikir akan memakai adat apa jika menikah dengan Husein. Kalau adat sunda sudah pasti, saat resepsi pakai pakaian adat Betawi juga bagus. Jangan lupa gaun modernnya. Kemudian ia mengingat-ingat siapa saja yang akan diundang di hari bahagia itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melamar Husein
SpiritualBukankah tidak ada solusi bagi 2 orang yang saling mencintai selain menikah? Jika keduanya telah mampu. Tapi bagaimana kasusnya jika seperti yang dialami Sani pada Husein? Sani mencintai Husein sejak ia duduk di bangku SMP. Cintanya memang tidak beg...