Bagian 1

1.7K 70 3
                                    

Aku membuang pandangan saat irisku dan Reza bersirobok beberapa detik.

"Abang cari siapa ke sini?" tanyaku. Tentu saja aku heran, tumben-tumbenan dia datang sesiang ini ke sekolah tempatku mengajar. Tadi, aku melihatnya celingak-celinguk di depan gerbang, makanya aku hampiri. Kebetulan juga lagi jam istirahat anak-anak dan aku baru selesai makan siang di kantin.

"Memangnya setahu kamu aku punya banyak kenalan di sekolah ini?" sahutnya sengit, sembari mengedar pandangan dan memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana.

Ih, kalau bukan mengingat bahwa dia adalah abang ipar alias kakak kandung suamiku, Mizan, sudah kuminta satpam buat mengusirnya. Menyebalkan sekali cara dia menjawab pertanyaanku.

Kuhela napas untuk mengusir emosi. Walau bagaimanapun, aku harus menghormatinya.

"Udah, nggak usah kesel gitu! Nanti tambah gendut. Orang kesal, kan suka banyak makan," celetuknya dan itu membuat emosiku benar-benar terpancing. Namun, sekali lagi aku mencoba untuk tetap menjaga kewarasan, apalagi ini di sekolah.

"Jadi, Abang mencariku?"

"Aku disuruh Mama ke sini."

"Ngapain?"

"Ngantar kue kesukaanmu. Kalau bukan karena Mama, aku juga ogah ke sini."

Aku mengernyit, karena dari tadi aku tidak melihat dia membawa sesuatu.

"Sebentar aku ambil di mobil." Reza memutar tubuh, lalu melangkah menuju mobilnya. Namun, tiba-tiba dia berhenti dan menoleh padaku. "Sini, Dila! Ambil sendiri! Nggak sopan nyuruh abang iparmu yang mengantar ke sana."

Aku mendengkus kesal, lalu mengikutinya menuju mobil berwarna hitam itu. Akan tetapi, aku memilih menunggu dia di trotoar dan sengaja berlindung di bawah pohon rindang yang berjejer di sepanjang jalan depan sekolah. Panas matahari begitu menyengat. Meskipun seragamku berbahan cukup tebal, tetapi tidak bisa menangkis hawa panas di kulit.

Rambut Reza yang hitam legam, tampak berkilau diterpa sinar matahari. Dari dulu, ternyata dia tidak berubah. Bahkan wanginya pun masih sama. Begitu maskulin.

Hei, Dila! Apa yang kau nilai itu? Ingat! Dia abang iparmu, bukan gebetanmu! Hati kecilku berteriak mengingatkan.

Kadang, entah mimpi apa aku harus dipertemukan lagi dengan pria ini dalam situasi yang sama sekali tidak pernah kuduga.

"Kamu memperhatikanku sedemikian rupa. Jangan bilang kalau kamu mulai menerima perjodohan kita."

Celetukan Reza membuatku terlempar dari lamunan sesaat. Tak kujawab tuduhannya.

"Apa kata-kataku benar adanya Fadilah?"

Aku terdiam, memberanikan diri menatapnya. "Bagiku, kuburan Mizan belum kering, meskipun delapan bulan telah berlalu. Dan jika kedatangan Abang ke sini disuruh Mama hanya untuk mendekatkan kita ... maaf, aku tidak bisa menerima."

"Kamu pikir, aku juga mau dijodohin sama kamu?" Reza menatapku tajam. "Siapa yang mau sama kamu? Gendut, nggak pandai dandan, nggak ada lemah lembutnya. Kamu itu bukan tipeku, Dila!" cecarnya sengit. "Entah apa yang dilihat Mizan waktu menikahi kamu. Apa mungkin atas paksaan Ustaz Syukri?"

Hatiku terasa panas, terbakar karena ucapannya yang tidak memiliki bandrol. Itu yang paling aku tidak suka dari pria bertubuh tinggi ini.

Kutarik napas dalam-dalam dan mengembusnya perlahan. Aku tidak boleh terpancing emosi dengan tingkah Reza.

"Kalau tidak ada hal penting lagi, aku mau masuk dulu. Sebentar lagi jam istirahat berakhir," kataku, seraya menyodorkan tangan, meminta tas kanvas jinjing yang entah apa isinya. Yang pasti, itu masakan ibunya Mizan, seperti yang dia katakan sebelumnya.

Meniti Cinta Kedua (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang