Bagian 18

461 37 10
                                    

Semua kata-kata Nindya tempo hari, terngiang kembali di telinga. Aku merasa gundah dan takut dengan cerita gadis itu. Benarkah Reza mencintaiku sejak aku masih berstatus sebagai istri adiknya? Kalau iya, keterlaluan sekali! Artinya dia sudah mengkhianati Mizan, kan? Masa jatuh cinta sama adik iparnya sendiri?

Aku mengempas tubuh di ranjang. Baru hendak mencoba memejam, bunyi ketukan di pintu kamar membuatku kembali memaksa tubuh untuk bangkit.

"Dil, udah tidur?" Terdengar suara Umi.

"Belum, Mi," sahutku.

Pintu kamarku dibuka dan wajah Umi muncul. Aku pun tersenyum. Namun, tidak dengan Umi. Beliau tampak lesu dan sepertinya tengah memiliki beban pikiran yang cukup berat. Aku sangat hafal dengan raut wajahnya.

"Umi tunggu di ruang tengah. Ada yang harus kita bicarakan."

Setelah berkata demikian, Umi pun pergi. Datar dan terdengar sangat serius cara Umi memberi perintah. Aku pun cukup tergemap mendengar nadanya.

Tidak lagi membuang waktu, aku pun segera beranjak meninggalkan kamar untuk menemui Umi. Penasaran akan hal apa yang ingin Umi bicarakan.

Ketika aku sampai di ruang tengah, Umi terlihat duduk di sofa. Pandangannya lurus ke arah televisi yang menyala dengan volume sangat kecil. Pelan, aku mendekat dan duduk di sampingnya.

"Ada apa, Mi? Sepertinya ada hal yang sangat penting." Tak sabar, aku langsung membuka percakapan sambil menatap Umi dari samping.

Umi menghela napas, lalu menyandar ke sofa. Tangannya memencet remot untuk menurunkan volume TV hingga tak lagi terdengar suaranya sedikit pun.

"Barusan, Tante Hani menelepon Umi."

Sebaris kalimat itu membuatku agak tegang. Sudah pasti tentang Ramzi. Ada apa lagi dengan pria itu?

"Ramzi membatalkan lamarannya." Umi memandangku dengan tatapan tajam. "Apa benar, kamu menolak saat diminta berhenti mengajar?"

Aku mengangguk sportif. "Iya, Mi. Aku memang menolak saat diminta mengundurkan diri dari sekolah. Umi tahu sendiri kalau menjadi guru itu adalah cita-citaku sejak kecil, kan?"

"Iya, Umi tahu. Tapi nggak ada salahnya jika kamu mengalah sekali ini saja. Ramzi itu pria yang baik. Soleh, tampan, hafiz pula. Mau dicari ke mana lagi pria seperti itu, Dil?"

"Ah, Umi tidak tahu saja bagaimana Ramzi sebenarnya. Karena Umi hanya melihat dari luarnya saja."

"Dila ..."

"Mi, Bang Mizan saja tidak pernah melarangku untuk mengajar. Dia mendukungku untuk tetap mempertahankan profesiku. Sedangkan Ramzi? Belum apa-apa dia sudah berani mengaturku."

"Tapi Ramzi itu bakal jadi suamimu. Wajar jika dia mau yang terbaik untuk rumah tangga kalian. Lagian, kamu tidak akan rugi jika memang harus berhenti mengajar, kan?"

"Tapi Bang Mizan tidak pernah mempermasalahkan itu, Mi."

"Dila, sadarlah! Ini Ramzi, bukan Mizan!" marah Umi.

Aku terdiam.

"Mizan itu sudah meninggal. Sampai kapan kamu mau membanding-bandingkan pria yang datang padamu dengan almarhum suamimu itu?"

Kutelan ludah dengan susah payah. Mencoba untuk tidak lagi membantah kata-kata Umi meskipun aku punya dalih.

"Ramzi itu lelaki terbaik yang datang padamu. Umi tidak menyangka kamu akan sekeras ini dengan prinsipmu. Padahal, tidak ada salahnya kamu mengalah demi kebaikan dan tidak selamanya kamu harus bertahan dengan pendirianmu itu, Dil!" Suara Umi bergetar dengan mata yang berkaca-kaca.

"Mi, Dila ...."

"Sudah! Terserah kamu saja! Umi nggak tahu mau kamu itu apa." Umi memotong ucapanku sambil menyeka air matanya. Ini kali pertama dia marah padaku dan ... beliau menangis karena aku.

"Umi mau istirahat. Capek ngomong sama kamu. Teruskan saja terpaku pada masa lalumu dengan Mizan!"

Umi pun langsung bangkit dan meninggalkanku di ruangan tersebut. Aku termangu, tanpa sadar meneteskan air mata. Ada yang berdenyut nyeri di jantungku melihat sikap Umi seperti itu. Mungkin, Umi sangat kecewa denganku. Namun, apakah sikapku terlalu berlebihan? Tidak bolehkah aku tetap memegang prinsipku sendiri?

Aku bukannya terlalu terpaku dengan masa lalu, tetapi aku mempertahankan profesiku juga demi Umi. Karena dengan tetap mengajar, aku bisa terus membiayai hidup Umi bahkan saat aku sudah menikah nanti dan tidak perlu meminta izin pada suamiku untuk memberi Umi uang. Sebab aku punya gaji sendiri.

Terisak, aku menaikkan volume TV. Belum ada niatku untuk beranjak dari ruangan tersebut. Hatiku masih merasa tidak enak mengingat kemarahan Umi.  Aku tahu, dia melakukan semuanya demi kebahagiaanku. Aku pun menerima Ramzi juga demi membahagiakan Umi. Namun, aku sungguh tidak mampu jika harus memaksakan diri menikah dengan pria itu, setelah mengetahui sifatnya beberapa waktu belakangan. Aku dan dia sama-sama keras kepala, tidak ada yang bisa mengalah. Jadi, mundur adalah jalan terbaik.

Mendekati pukul 12.00 WIB, aku mematikan televisi. Setelahnya, aku beranjak hendak masuk ke kamar. Sudah waktunya istirahat dan besok aku harus mengajar.

Melewati kamar Umi, aku memberanikan diri untuk mengecek keadaan Umi sebelum tidur. Aku ingin memastikan kalau Umi baik-baik saja. Namun, sayangnya pintu kamar Umi dikunci dari dalam.

Aku mengembus napas kecewa.

Mungkin Umi butuh ketenangan dan tidak mau diganggu. Semoga besok pagi, aku bisa bicara baik-baik dengan Umi setelah keadaan lebih tenang.

***

Tidak kudengar suara Umi mengaji selepas subuh. Bahkan rasanya, tadi Umi tidak bangun untuk shalat Tahajud. Aku baru menyadari hal itu ketika baru selesai menunaikan shalat Subuh di kamar.

Gegas, kubuka mukena dan melemparnya begitu saja ke atas ranjang. Lantas, setengah berlari aku menuju ke kamar Umi. Bersyukur, kamar Umi tidak dikunci. Aku langsung menguak pintu bercat cokelat kayu itu.

"Astaghfirullaah! Umi!"

Aku berteriak tertahan saat melihat Umi tergeletak di lantai kamar. Posisinya jauh dari sajadah yang masih terbentang dan masih dalam balutan mukena. Entah apakah Umi sudah shalat Subuh atau belum.

Kudekati Umi dan bersimpuh di sampingnya. Wajah Umi tampak pucat dan suhu tubuhnya terasa panas sekali. Aku mencoba membangunkan Umi sambil terus memanggilnya. Namun, tidak ada reaksi apa pun. Umi bergeming.

"Umi! Umi bangun, Mi! Umi kenapa? Jangan bikin Dila takut!"

Aku terus berusaha menggoyang-goyang tubuh Umi. Berharap setidaknya Umi membuka mata dan bicara sesuatu. Agar ketakutanku tidak menjadi kenyataan. Akan tetapi, usahaku tetap tidak membuahkan hasil.

Panik, tidak tahu harus melakukan apa lagi selain berlari kembali ke kamar untuk mengambil ponsel. Hanya satu nama yang kini harus kuhubungi dan aku tidak peduli apa yang terjadi nanti setelah meminta bantuannya. Yang paling penting, Umi harus segera kubawa ke rumah sakit.

"Oke, oke, kamu tenang ya, Dil? Jangan panik! Aku akan sampai di sana secepatnya. Kamu siap-siap agar saat aku tiba, kita bisa langsung berangkat."

Kata-kata itu cukup membuatku tenang. Tak menyangka dia akan mengangkat teleponku secepat itu dan bersedia menolong. Aku pun segera bersiap-siap sambil menunggu kedatangannya.

***




Meniti Cinta Kedua (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang