Bagian 25

530 36 10
                                    

Suara kumandang azan membuatku memaksa diri untuk membuka mata yang masih sangat berat. Teringat kalau subuh tadi, di rumah sakit, aku sudah mandi wajib karena haidku sudah selesai.

Aku menggeliat, mengusap mata untuk melihat jam dinding yang ternyata menunjuk ke angka setengah satu. Artinya, itu azan Zuhur.

Sebelum bangkit, aku termenung beberapa saat. Menyadari kalau saat ini sedang berada di kamar milik Mizan. Kamar yang penuh kenangan bersamanya. Kamar yang dulunya penuh kehangatan.

Di sudut mata, butiran bening mengalir perlahan. Gegas kuhapus karena tak mau terlalu larut dalam kenangan. Aku bangkit dari berbaring, beringsut perlahan ke bibir ranjang. Beberapa detik duduk terdiam, sebelum aku memijak ubin putih yang terasa dingin untuk menuju ke kamar mandi. Kebetulan kamar mandi ada di dalam kamar.

Usai menunaikan shalat Zuhur, tak lupa kukirimkan doa buat Mizan dan Umi. Menyebut nama mereka, air mata tak lagi mampu terbendung. Aku tersedu-sedu dalam kesunyian.

Baru saja aku selesai melipat mukena dan menaruhnya di tempat gantungan khusus di samping lemari pakaian, aku agak terkejut saat Nindya membuka pintu dan masuk ke kamarku.

"Eh, maaf, Kak. Aku nggak sopan, ya? Aku kira Kakak masih tidur," sesalnya.

Aku tersenyum. "Nggak apa-apa, Nin. Kakak udah bangun dari tadi pas denger azan."

"Kakak ngerasa baikan?"

"Alhamdulillaah, Nin."

"Eumm, aku ke sini cuma mau nanya, Kakak mau makan siang apa?"

"Apa saja, Nin."

"Bukan gitu, Kak. Aku dan Mama nggak dibolehin masak sama Bang Reza. Jadi, Bang Reza suruh aku tanyain ke Kakak, Kakak mau makan apa, gitu," papar Nindya.

"Ooh, gitu. Ya udah, apa ajalah, Nin. Sama aja kayak kamu dan Mama."

"Oke. Aku kirim pesan ke Bang Reza dulu. Rencananya habis dari masjid, Bang Reza langsung pergi beli makan siang kita."

"Bang Reza ke masjid?" Aku menatap Nindya tak percaya.

"Iya, Kak."

"Tumben?"

Nindya tertawa kecil. "Nggak tahu tuh, Kak. Kesambet di mana dia. Ya, udah, aku keluar dulu ya, Kak? Kakak keluar juga, ya? Kita nunggu Bang Reza sambil santai nonton TV."

"Iya, iya. Kakak mau rapi-rapi dulu sebentar."

Nindya pun berlalu.

Reza ke masjid? Shalat berjamaah? Apa tidak salah? Tapi bagus sih, berarti dia ada peningkatan. Setidaknya dia jadi lebih baik dalam ibadahnya.

***

Masuk hari ketiga pulang dari rumah sakit, aku memutuskan untuk kembali mengajar esok hari. Bersyukur sekali aku memiliki kepala sekolah yang sangat baik sehingga memberiku waktu berduka ditambah masa pemulihan. Sorenya, aku meminta Nindya menemaniku untuk pulang ke rumah Umi. Guna mengambil pakaian dan barang-barang yang kuperlukan berikut motor kesayanganku.

"Kita minta antar Bang Reza saja, ya, Kak?" usul Nindya.

"Jangan ah, nanti ngerepotin. Dia 'kan baru pulang antar Mama nagih sewa kontrakan," tolakku sungkan.

"Nggak repot kok, ayo jalan!"

Tiba-tiba Reza muncul di antara kami. Rupanya dia mendengar percakapanku dengan Nindya.

"Eumm, nggak usah, Bang. Aku ...."

"Aku tunggu di mobil!"

Tak menghiraukan ucapanku, Reza sudah berlalu setelah meraih kunci mobil di meja TV. Aku dan Nindya saling pandang. Gadis itu hanya angkat bahu sambil tersenyum.

Meniti Cinta Kedua (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang