Bagian 36

217 15 0
                                    

"Kamu jaga diri baik-baik. Kapan pun kamu mau, kamu boleh kembali tinggal di rumah Mama. Kalau perlu apa-apa, jangan sungkan untuk menelepon Mama atau  Reza. Ya?"

Pesan Mama Feni masih kuingat saat malam menjelang. Ya, setelah menimbang selama tiga hari, aku akhirnya bertekad untuk kembali ke rumah Umi. Mama Feni dan Reza mengantarku. Nindya tidak ikut. Aku tahu dia marah. Namun, aku tidak bisa mengubah keputusanku.

Mata sembab Mama Feni tak kuasa aku tatap. Bahkan saat mereka pamit pulang, ada sesak di rongga dada. Aku merasa telah melukai orang-orang yang begitu menyayangiku. Namun, aku juga tidak mau menyusahkan mereka.

Beberapa kali kutarik napas dan mengembusnya perlahan, mencoba melepaskan semua beban di dalam dada. Aku tidak boleh cengeng dan harus berani menghadapi semua keputusan yang telah diambil. Ya, tidak boleh cengeng. Mulai hari ini, aku harus bisa mandiri.

***

"Saya memilih mundur, Ustazah," ungkapku lirih sore itu, saat pulang sekolah aku sengaja mampir ke rumahnya.

"Iya, saya sudah paham dan sudah mendunganya, Dil. Kamu juga berhak mendapatkan yang lebih baik. Maaf, jika dia tidak sesuai harapanmu. Saya juga jadi nggak enak hati. Ustaz Syukri pun sempat marah sama dia."

Aku mencoba tersenyum. "Itu hak dia mengajukan syarat apa pun, Zah. Ustazah jangan merasa nggak enak hati. Saya nggak apa-apa, kok."

"Semoga Allah mempertemukanmu dengan lelaki yang jauh lebih baik."

"Aamiin. Jazaakillaah khairan doanya, Zah."

Suara ketukan di pintu membuat obrolanku dan Ustazah Hana terputus. Beliau pun pamit untuk membuka pintu setelah mengenakan cadarnya.

Karena berada di ruang tamu, aku bisa mendengar suara percakapan mereka dengan jelas. Tamunya seorang lelaki dan ternyata dia sudah ada janji dengan Ustaz Syukri. Lelaki tersebut diminta menunggu sebentar. Ustazah Hana pun masuk guna memanggil suaminya.

Aku terkesiap melihat sosok yang berdiri di depan pintu yang setengah terbuka. Dia tidak menghadap ke dalam rumah, melainkan membelakanginya.

Bukannya itu Bang Reza? Ada apa dia ke sini? Dia kenal sama Ustaz Syukri juga?

Sepertinya dia pulang kantor langsung ke sini. Aku bisa melihat dari pakaiannya.

Baru hendak bangkit untuk menemuinya, niatku urung karena Ustazah Hana sudah muncul kembali.

"Dek Reza, masuk saja! Ustaz sudah menunggu di ruangan biasa." Begitu titah Ustazah Hana.

Ruangan biasa? Artinya Reza sering ke sini?

"Oh, iya. Terima kasih, Ustazah!" sahut Reza santun. Lantas, dia pun masuk dengan pandangan tidak mengarah padaku sama sekali. Sombong banget, sih! Jangankan memandang, melirik saja tidak!

"Dia abang iparmu, kan?"

Pertanyaan Ustazah Hana membuatku seketika mengalihkan pandangan padanya. Gugup, aku mengangguk.

"Dia selalu ke sini setiap pulang kerja untuk menyetor hafalannya. Dia juga mulai rutin ikut kajian sama Ustaz Syukri akhir-akhir ini." Ustazah Hana memberi penjelasan tanpa kutanya.

"Kata Ustaz, Reza itu semangatnya tinggi banget menghafal Al-Qur'an walau sering terbata-bata. Dia nggak pernah menyerah sama sekali. Kami salut sama dia," imbuhnya memuji.

Aku hanya tersenyum kecil. Dalam hati, aku merasa sangat bangga dengan Reza. Ah, seharusnya aku tidak ....

"Eh, kenapa kamu tidak taaruf sama Reza saja?"

Ucapan Ustazah Hana membuatku membeku.

***

[Aku melihatmu di rumah Ustaz Syukri tadi. Maaf, jika aku tidak menyapamu. Aku hanya sedang belajar menjaga pandangan dan menjaga sikap di rumah guru kita]

Pesan yang dikirimkan Reza saat aku baru sampai di rumah, tak sadar mengukir senyum di bibir. Aku senang melihat hijrahnya. Ternyata, dia hijrah bukan karena aku, tapi benar-benar dari hatinya.

[Dan sebaiknya Abang juga tidak lagi berkirim pesan padaku. Karena sesungguhnya ini juga bisa merusak hati kita]

Kubalas pesannya dengan dua kalimat tegas tersebut. Dua centang biru terlihat dan tidak ada lagi balasan darinya.

Bukan apa-apa aku mengatakan hal demikian. Aku hanya ingin menjaga hati kami. Tak ingin terus menerus menganggap percakapan kami lewat aplikasi hijau itu adalah sesuatu yang lumrah. Padahal, akibatnya bisa sangat fatal. Bahkan aku bersyukur bisa keluar dari rumah Mama Feni. Sebab tidak bagus juga jika setiap hari aku bertemu pandang dengan Reza. Apalagi, aku sudah menolak lamaran Mama Feni untuk putra sulungnya itu.

Segera kusudahi pikiran tentang Reza. Aku ingin segera mandi dan memasak untuk makan malam. Namun, baru saja hendak menaruh ponsel di meja, benda itu kembali berbunyi. Nama Mama Feni terlihat memanggil. Segera kuraih kembali ponselku dan mengangkatnya.

"Assalaamu'alaykum, Ma!" sapaku.

"Wa'alaykumussalaam. Kamu udah di rumah, Dil?" tanya Mama Feni dari seberang.

"Udah, Ma. Baru aja nyampe. Kenapa, Ma?"

"Ooh, syukurlah. Ini, Mama mau ngirim makanan buat kamu. Kamu nggak usah masak atau beli makan malam."

"Iiih, Mama nggak usah repot-repot! Ini Dila baru mau masak!"

"Mama enggak repot. Tadi sekalian masak, Mama lebihkan buat kamu. Karena Mama ingat kalau kamu suka banget sama rendang. Udah ah, nggak usah basa-basi. Mama kirimkan lewat kurir aja biar cepat. Soalnya Reza belum pulang. Kamu tunggu di rumah, ya? Assalaamu'alaykum!"

Mama Feni langsung menutup telepon sebelum aku sempat menjawab.

"Wa'alaykumussalaam," ucapku pelan sambil tersenyum kecil.

Mama Feni, beliau terlalu baik. Padahal, aku ini hanya mantan menantunya. Bahkan aku sudah berani membatalkan lamarannya untuk Reza, tapi beliau masih saja bersikap baik padaku.

***

Tanpa terasa, hampir tiga bulan telah berlalu. Selama itu pula aku sudah tinggal sendiri di rumah Umi. Tidak ada kendala yang berarti dalam keseharianku. Apalagi, dari pagi sampai sore, aku di sekolah. Pulangnya juga sudah capek dan sering larut dalam kesibukan membereskan rumah, mencuci dan memasak. Belum lagi musim ujian hampir tiba sehingga habis shalat Isya aku sibuk membuat soal untuk murid-muridku.

Mama Feni sering mengirimkanku makanan. Walau tidak tiap hari, setidaknya tiga kali dalam seminggu. Setiap akhir pekan, selalu ada bolu cokelat yang beliau kirimkan. Kadang, beliau sendiri yang mengantar ke rumah sambil menghabiskan waktu untuk mengobrol denganku.

Reza selalu mengantar jemput jika Mama Feni ke rumahku. Namun, aku tidak pernah melihat sosoknya karena dia tidak pernah mampir. Mungkin karena balasan pesanku waktu itu yang membuatnya sengaja menghindari pertemuan denganku.

***

[Dila, ada yang mau taaruf lagi denganmu. Besok, sepulang sekolah, kalau bisa kamu mampir ke rumah saya, ya?]

Aku menahan napas sejenak saat membaca pesan Ustazah Hana. Padahal, aku sudah tak lagi memikirkan soal pernikahan. Aku sudah bahagia dengan hidupku yang sekarang walau hanya seorang diri.

[Maaf, Zah, saya sedang tidak berminat untuk taaruf lagi. Setidaknya untuk saat ini. Sekali lagi saya minta maaf, Zah. Terima kasih atas niat baik Ustazah]

Dengan berat hati, kukirimkan balasan pesan tersebut. Apa pun pendapat Ustazah Hana dengan jawabanku, aku memilih tidak terlalu ambil pusing.

***

Meniti Cinta Kedua (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang