Bagian 39

255 17 3
                                    

Selesai mandi dan mengganti pakaian dengan gamis yang masih ada di lemari, aku merasa ingin minum kopi agar tubuh semakin sempurna kesegarannya. Saat menuju dapur, aku masih mendengar suara orang mengobrol di ruang tamu. Sepertinya Helen belum pulang.

"Kakak, mau ke mana?"

Aku dikagetkan oleh kehadiran Nindya yang datang dari arah dapur dengan segelas minuman berwarna cokelat.

"Eh, kamu bikin kaget aja. Kakak mau ke dapur, mau bikin kopi. Keknya seger aja habis mandi kalau ngopi."

"Mending Kakak bikin cokelat hangat aja kayak aku gini dari pada ngopi," saran Nindya.

"Eummm, iya juga ya. Oke deh, Kakak bikin dulu."

"Tapi habis itu Kakak jangan ikut ke depan, ya?"

"Enggak. Ngapain juga Kakak ke depan. Orang nggak diajak juga," kataku seraya tertawa kecil. Lalu meninggalkan Nindya menuju dapur.

***

Cokelat hangatku tinggal separuh. Sengaja aku menikmati minuman itu di ruang makan sembari membalas obrolan Neni di aplikasi. Wanita itu masih saja menggodaku tanpa henti. Walau candaannya lewat online, tetap saja dia sukses membuat pipiku memanas.

"Dila!"

Terkejut, aku langsung mengangkat wajah untuk melihat siapa yang memanggil.

"Eh, Kak Helen."

Sedikit grogi, aku bangkit dari duduk dan mendekati perempuan itu. Mengulurkan tangan dan ... Helen malah mengabaikannya.

"Eumm, maaf, tadi aku nggak sempat menyapa Kakak. Aku ...."

"Selamat, ya! Akhirnya kalian akan menikah juga." Helen memotong ucapanku.

Aku terdiam dibuatnya. Nada bicara Helen sama sekali tidak enak didengar.

"Keadaan sudah membuktikan betapa munafiknya kamu, Dil. Saat kamu tahu ada aku yang mencintai Reza, kamu malah sekuat tenaga berusaha agar Reza tidak lepas dari tanganmu."

"Kak, kenapa Kakak masih berpikir begitu? Ini semua ...."

"Stop, Dila!"

Suara Reza yang datang tiba-tiba, menghentikan pembelaan diri yang akan aku jabarkan.

"Kamu nggak perlu menjelaskan apa-apa pada Helen."

"Tapi, Bang, Kak Helen harus tahu kalau ...."

"Kalau aku bilang nggak perlu, ya, nggak perlu, Dila!" Suara Reza terdengar tegas dan aku tidak berani membantahnya kali ini.

"Helen, perlu kamu sadari kalau di sini tidak ada yang salah. Baik aku, Dila maupun kamu. Semua terjadi karena kehendak Allah. Kita sejak dulu hanya sebagai teman, tidak lebih. Kalaupun salah satu dari kita memiliki perasaan lebih, itu hal yang wajar. Karena sesungguhnya dalam agama kita, lelaki dan perempuan itu tidak boleh berteman. Salah satu mudaratnya adalah apa yang terjadi saat ini."

"Tapi, Za, Dila bilang dulu dia nggak cinta sama kamu. Dia berjanji akan menyatukan aku sama kamu. Nyatanya ...."

"Nyatanya sekarang Allah telah membukakan hati Dila untukku," potong Reza dan langsung membuat Helen bungkam. "Maaf, Len. Jangan bicara apa-apa lagi. Karena semua tidak akan mengubah apa yang sudah aku dan Dila putuskan. Kami akan segera menikah. Aku mohon, bersikap dewasalah! Kita sudah bukan remaja lagi."

"Aku sudah sejauh ini berubah demi menarik perhatianmu. Nyatanya, aku masih kalah sama Dila. Aku tetap nggk bisa mengambil hatimu, Za."

"Jangan berubah demi cinta pada manusia. Berubahlah karena Allah. Berubahlah untuk kebaikan dirimu sendiri."

Wajah Helen tampak seperti menahan tangis. Beberapa saat kemudian, dia pergi tanpa permisi. Bahkan dia melewati Mama Feni begitu saja.

"Astaghirullaah. Helen kenapa bisa jadi gitu, Za?" tanya Mama Feni.

Reza mengembus napas, lalu menggeleng. "Aku nggak tahu, Ma. Biarkan saja!"

Tiba-tiba Reza menoleh padaku. "Kamu sudah lihat kenapa aku marah saat kamu berusaha menjodohkan aku dengan Helen bukan?"

Tak berani membalas tatapannya, aku menunduk.

"Eh, eh, eh! Kenapa kamu malah marahin Dila, Za?" omel Mama Feni seraya mendekatiku.

"Eh, enggak, Ma. Aku bukannya marah. Aku hanya ngasih tahu Dila aja kok."

"Awas kamu! Sedikit saja kamu nyakitin Dila, Mama nggak akan pernah memaafkan kamu."

"Anak Mama itu sebenarnya aku atau Dila sih, Ma?"

"Mama nggak peduli. Udah sana kamu mandi! Bentar lagi magrib," titah Mama Feni dan tidak dapat ditolak oleh lelaki tersebut.

"Kamu baik-baik saja, Dil?" tanya Mama Feni setelah Reza berlalu.

"Iya, Ma. Dila baik-baik aja kok." Aku pun kembali duduk di kursi meja makan. Menyesap minuman yang sudah hampir dingin.

"Tadinya Helen itu pamit mau ke kamar mandi. Eh, taunya malah menghakimi kamu di sini," tutur wanita berbaju ungu itu. Dia ikut duduk berseberangan denganku.

Aku tersenyum tipis. "Wajar aja kalau Kak Helen marah sama Dila, Ma. Soalnya dia merasa Dila itu udah berkhianat sama dia."

"Ah, dia aja yang kekanak-kanakan. Mama pikir, dia datang ke sini cuma buat silaturahmi. Katanya kangen sama Reza, karena udah lama nggak ketemu. Mama juga udah senang lihat dia mulai berhijab. Eh, nggak taunya karena ada udang di balik batu."

"Ssst! Mama jangan ngomong gitu! Nggak baik, Ma. Kita bersyukur aja, Kak Helen udah mau berhijab apa pun alasannya. Semoga setelah ini, dia bisa memperbaiki niat hijrahnya dan benar-benar tahu kenapa perempuan itu harus berhijab," tuturku.

Mama Feni menatapku lekat.

"Eh, maaf, Ma! Dila nggak bermaksud menasihati Mama kok." Aku merasa sungkan.

"Enggak, Sayang. Mama cuma terkesima aja mendengar kamu bicara. Sungguh, kamu adalah permata tak ternilai buat Reza." Mata Mama Feni terlihat berkaca-kaca.

***

Makan malam kali ini terasa begitu hangat. Aku seperti menemukan kembali suasana kekeluargaan yang sempat hilang sembari menikmati makanan favoritku.

Pembicaraan tak lepas dari rencana pernikahan aku dan Reza. Mama Feni tidak mau menunggu lama. Kata beliau, mulai besok, Reza sudah harus mulai mempersiapkan segala sesuatunya. Mulai dari jadwal menemui keluargaku yang tinggal di luar kota, sampai kepada mengurus surat-surat yang dibutuhkan.

Mendengar semua itu, aku jadi deg-degan. Apalagi, calon suamiku adalah lelaki absurd yang tak lain adalah kakak iparku sendiri. Tidak bisa kubayangkan bagaimana kehidupan pernikahan kami nanti. Akankah bisa berjalan normal mengingat apa yang sudah terjadi selama ini?

***






Meniti Cinta Kedua (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang