Bagian 21

482 40 8
                                    

Baru tiga hari tidak ke sekolah, rasanya kedatanganku seperti saat pertama kali menginjakkan kaki di sana. Suasananya jadi asing. Namun, murid-murid yang menyambutku dengan semringah, menepis rasa itu. Para siswi berlarian mendekat dan memelukku bergantian. Sementara para siswa hanya bisa tersenyum bahagia sambil memanggil-manggil namaku setelah mengucap salam dengan menangkup tangan di depan dada. Ya, di sekolah tempatku mengajar, anak laki-laki memang diajarkan untuk tidak menyentuh lawan jenis sejak dini. Meskipun itu adalah guru mereka sendiri.

"Gimana kabar umimu?" tanya Neni, setelah aku berbasa-basi sejenak dengan rekan-rekan guru yang lain. Agak heran juga saat Ramzi tidak kutemukan di antara mereka.

"Alhamdulillaah, udah dalam masa pemulihan, Nen." Aku tersenyum.

"Syukurlah."

"Maaf, aku udah ngerepotin kamu buat gantiin tugasku selama tiga hari." Kutatap Neni dengan rasa sungkan.

"Ih, kayak sama siapa aja. Tapi kalau kamu ngerasa sungkan, nanti pas gajian, sepertiga gajimu tranfer ke aku, ya?" kelakarnya.

"Beres," sahutku.

"Bercanda lho, Dil. Jangan masukin hati."

"Iya, iya, aku tahuuu." Aku tertawa. Kemudian, kami sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk bahan mengajar.

"Eummm ... Nen, Pak Ramzi kok nggak kelihatan?" tanyaku, seraya menyapu pandangan ke sekeliling ruang guru.

"Ramzi? Dia udah mengundurkan diri dan sejak kemarin nggak masuk lagi." Neni menyahut santai.

Aku terkesiap. "Mengundurkan diri? Kenapa? Kok, tiba-tiba?"

"Katanya, dia mau lanjutin kuliah S2. Tapi, ada juga yang bilang kalau sebenarnya dia itu dapat panggilan mengajar ke sekolah yang lebih bonafit," papar Neni.

"Begitu, ya?"

"Kenapa mukamu begitu?" Neni menatapku.

Aku menggeleng. "Nggak apa-apa. Heran aja tiba-tiba dia pergi."

Saat aku tak lagi memperpanjang bahasan tentang Ramzi, ternyata Neni masih menatapku penuh selidik.

"Apaan?" tanyaku sewot.

"Kamu dan Ramzi ... nggak ada masalah apa-apa, kan?"

Gugup, aku kembali menggeleng. "Emang masalah apa? Ada-ada aja kamu."

"Aku lihat beberapa waktu belakangan, kalian sering ngobrol."

"Ooh, itu ... aku ... eh, kami ... apa namanya itu? Kami bahas soal murid-murid, kok." Aku berkilah walau kesulitan mencari jawaban yang sekiranya tidak memancing kecurigaan Neni.

"Yakin? Bukan masalah perasaan, kan?"

Aku mendelik, membuat Neni terbahak. Dia tak lagi melanjutkan interogasinya padaku. Apalagi, bel tanda masuk sudah berbunyi. Kami pun bersiap untuk masuk kelas.

Sembari melangkah menuju kelas, aku jadi bertanya-tanya, benarkah Ramzi pergi karena hal yang disebutkan Neni tadi? Bukan lantaran ingin menghindariku, kan? Padahal, aku belum sempat meminta maaf padanya atas apa yang telah terjadi.

Sedikit rasa bersalah segera kutepis. Bukankah semua sudah sesuai dengan apa yang kuinginkan? Jadi, buat apa gundah?

Kuhirup oksigen dalam-dalam. Udara di sekitar lingkungan sekolah terasa lebih segar dari biasanya. Mungkin karena tidak ada lagi beban yang harus kupikirkan. Ramzi telah pergi dan aku terbebas dari mempertimbangkan pernikahan dengannya. Tambahan lagi, Umi sudah tidak lagi memaksaku untuk menikah secepatnya.

***

Foto Mizan masih tersimpan rapi di galeri ponselku. Setiap kali merasa rindu, aku sering memandang foto-foto itu. Rasanya, dengan begitu, cukup untuk melepaskan rasa rindu padanya. Walau sudah tak terjangkau oleh tangan, tetapi aku tak pernah lupa mendekapnya dalam doa.

Meniti Cinta Kedua (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang