Bagian 20

544 44 6
                                    

"Ma, boleh tolong Dila jagain Umi sebentar? Dila mau keluar, ada yang mau dibeli," pintaku sore itu, pada hari kedua Umi terbaring sakit. Mama Feni dan Nindya kebetulan datang kembali untuk melihat keadaan Umi sejak siang. Beliau juga tak sungkan memasak di rumahku untuk makan siang kami.

"Boleh. Dianterin Reza, mau? Mama telepon dia, ya?"

"Eh, nggak usah, Ma. Nggak usah. Dila pake motor saja. Cuma ke pasar sebentar mau beli sayuran sama buah-buahan." Aku menolak dengan cepat.

"Mau aku temenin nggak, Kak?" Nindya menawarkan diri.

"Nggak usah, Nin. Kakak sendiri aja biar cepat."

"Ya sudah, kamu hati-hati, ya, Nak?" pesan Mama Feni.

"Insyaa Allah, Ma. Titip Umi ya, Ma, Nin?"

"Iya."

***

Sudah sore, pedagang sayur dan buah pun tidak banyak lagi di pasar. Setelah berjalan ke sana ke mari untuk mendapatkan yang terbaik, aku pun berhenti di salah satu pedagang yang sayur dan buahnya masih terlihat segar.

Membeli seperlunya, aku pun segera beranjak pulang. Namun, tiba-tiba pikiranku terarah pada suatu tempat. Tempat yang sudah lama tidak aku kunjungi dan tidak terlalu jauh jika dijangkau dengan sepeda motor.

Sebelum memantapkan hati untuk menuju ke sana, aku berhenti sejenak di pinggir jalan, menatap langit sore yang masih membiru meskipun matahari sudah mulai tergelincir ke arah barat. Sepertinya cuaca sedang bersahabat. Tidak ada salahnya aku mampir ke sana untuk beberapa menit saja.

Aku memacu kecepatan motor melalui jalan yang tidak terlalu lebar setelah belok kanan dari jalan raya. Sedikit menanjak ke arah perbukitan, tetapi masih aman dilewati dengan kendaraan roda dua.

Di bawah sebatang pohon rindang, kuparkirkan motorku di sana. Sunyi. Hanya semilir angin sore yang lembut dan pancaran sinar matahari yang terasa hangat menerpa kulit wajah.

Aku melangkah pelan ke tempat pembaringan abadi lelaki yang kucintai. Aku tidak pernah lupa di mana posisinya meskipun sudah banyak makam baru di sekitarnya. Suasana yang sangat sepi membuat kerinduan tiba-tiba menyergap, begitu pandangan mengarah pada batu nisan yang bertuliskan nama Mizan bin Ruslan.

Aku berjongkok di samping gundukan tanah itu. Sepertinya ada yang sering datang ke sini. Karena tidak sehelai rumput pun dibiarkan tumbuh. Mungkin Mama Feni, Nindya atau Bang Reza yang sering ziarah.

Kuusap batu nisan itu sambil tersenyum hambar sambil melafazkan doa terbaik untuk almarhum suamiku.

"Bang, Umi sedang sakit dan ... sakitnya Umi itu ... adalah karena aku. Aku menolak lelaki yang mengkhitbahku hanya karena dia tidak mengizinkan aku mengajar setelah menikah. Dia Ramzi. Abang pasti kenal dia. Dia egois, kan, Bang?" Aku mengadu dengan suara bergetar, seolah-olah ada Mizan di hadapanku.

Kuhela napas dalam-dalam, lalu mengembusnya perlahan untuk mengurangi sesak di dada.

"Apa aku harus mengalah demi Umi, Bang? Apa aku harus runtuhkan prinsip yang selama ini aku pegang demi melihat Umi bahagia? Haruskah aku melakukan itu, Bang?" Tanpa sadar, air mataku telah mengalir deras.

"Aku sayang banget sama Umi, Bang. Aku nggak punya siapa-siapa lagi di dunia ini selain Umi setelah Abang pergi. Katakan aku harus bagaimana? Katakan, Bang!" Aku tertunduk dengan tangis yang semakin menjadi-jadi.

"Paham agama, tetapi tidak tahu kalau meratap di kuburan itu dilarang."

Seketika tangisku terhenti saat mendengar suara itu. Aku langsung menoleh ke belakang. Reza. Lelaki tersebut berdiri sambil memandangku dengan wajah kurang bersahabat.

Meniti Cinta Kedua (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang