Bagian 23

493 33 1
                                    

Bekas tusukan jarum infus masih menyisakan rasa ngilu di punggung tangan. Tulang-tulang penyangga tubuh seakan tidak berfungsi. Sebelum tertidur tadi, aku diberi beberapa macam obat oleh Mama Feni sehingga sakit kepala dan mual yang tadi sangat menyiksa, sekarang sudah hilang.

"Istirahat saja! Jangan memaksakan diri untuk membuka mata jika merasa nggak nyaman."

Suara yang sangat familier itu membuatku terkejut. Aku menoleh ke samping kiri, ada Reza duduk tak jauh dari ranjangku. Wajahnya terlihat kuyu. Pakaiannya juga tampak berantakan. Tidak seperti Reza yang kukenal, yang selalu berpenampilan rapi.

Tenggorokanku terasa sangat kering. Untuk bersuara saja, rasanya aku tak sanggup.

"Kamu haus?" tanya Reza, seakan tahu apa yang kurasakan.

Aku mengangguk pelan. Lantas, dengan sigap Reza bangkit. Diraihnya gelas kosong di meja.

"Sebentar, ya? Aku ambilkan air hangat."

Lelaki itu melangkah ke arah dispenser. Beberapa detik kemudian, dia datang membawakan segelas air hangat. Dia menyetel ranjangku sampai aku berada dalam posisi setengah duduk.

"Kuat megang gelasnya, kan?"

Lagi-lagi aku mengangguk dan mengulurkan tangan yang gemetar untuk menerima gelas yang dia sodorkan.

"Udah, biar aku aja yang pegangin!"

Pasrah dan patuh. Hanya itu yang bisa kulakukan. Karena aku memang sedang tidak berdaya. Untuk bertanya ke mana Mama Feni atau Nindya saja, aku merasa tidak sanggup.

"Mama pulang buat ganti pakaian. Nindya ke kampus setelah ngantar baju ganti buat kamu. Maaf, kalau aku yang harus menemani kamu di sini," papar Reza tanpa ditanya. Dia menaruh gelas ke tempat semula."

Aku menatap Reza dengan tatapan yang entah. Sikapnya yang tidak kumengerti. Dia bisa jadi sangat baik. Namun, di sisi lain dia juga bisa jadi sangat menyebalkan.

"Kenapa ngeliatin aku kayak gitu?" Reza melipat tangan di dada, menatapku.

Kuhela napas dan memalingkan wajah darinya.

"Senang berada di sini?"

Pertanyaan itu, sepertinya akan mulai memantik emosi.

"Kamu pikir, Umi bakalan senang lihat kamu begini? Nggak mau makan, nggak mau bicara. Sampai pingsan dan jatuh sakit."

Kutelan ludah dengan susah payah. Kamar VIP yang cukup luas itu terasa penuh sesak ketika bayangan wajah Umi melintas.

"Kamu mau protes sama siapa? Sama Allah?"

Air mata menggenang di pelupuknya. Perlahan, mereka pun berjatuhan saat aku memejam.

"Dil, hidup dan mati di tangan Allah. Mereka yang sudah pergi, artinya tugas mereka telah selesai di dunia ini. Dan kita yang ditinggalkan, harus melanjutkan hidup sampai nanti tiba masanya giliran kita dipanggil."

"Aku tahu, kamu sangat terpukul dengan kepergian Umi. Tapi nggak harus dengan cara menyiksa diri kamu sendiri. Itu sama saja seperti kamu sedang protes sama takdir Allah."

Rasanya aku tidak percaya kalau yang lagi bicara itu adalah Reza. Lelaki terabsurd yang pernah aku kenal. Sejak kapan dia sebijaksana itu?

"Sudah, jangan menangis lagi, Dil. Maaf, ya, kalau aku terlalu banyak bicara. Aku bicara begini karena aku sayang sama kamu, Dil. Aku takut kamu kenapa-kenapa."

Aku terkesiap, lalu menatapnya.

Reza gelagapan. Sepertinya dia baru sadar apa yang sudah dia ucapkan. "Aku menyayangimu ... seperti pada Nindya."

Meniti Cinta Kedua (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang