Bagian 29

800 40 4
                                    

"Rumah Umi apa jadi dikontrakkan? Soalnya ada temanku yang lagi nyari kontrakan."

Reza yang baru datang dari arah ruang makan, duduk di samping Nindya. Aku, Mama Feni dan Nindya yang sedang menonton televisi malam itu, serempak menoleh padanya.

"Sebenarnya sih, iya, tapi ...." Aku ragu untuk memutuskan.

"Tapi kenapa, Dil? Bukannya kamu udah berniat untuk mengontrakkan rumah itu? Lagian, kalau ada yang ngontrak, kamu nggak capek-capek lagi beberes ke sana setiap minggu." Mama Feni menatapku.

"Kalau dikontrakkan, otomatis Dila nggak bisa masuk ke rumah itu lagi, Ma. Terus, kalau Dila rindu sama kenangan bersama Umi, bagaimana?"

Semua terdiam dan terlihat saling melempar pandangan.

"Rindu tak harus dengan mendatangi tempat penuh kenangan bersama orang tersebut. Karena sebaik-baik mengenang orang yang sudah tiada adalah dengan mendoakannya," komentar Reza.

"Benar kata Reza, Dil," kata Mama Feni.

"Tapi, enggak dengan Dila, Ma. Dila tetap butuh suasana rumah itu untuk melepas rindu. Bukan berarti untuk meratapi, tetapi hanya untuk mengenang bahwa di rumah itu Dila pernah tinggal bersama wanita paling baik sedunia." Suaraku bergetar, air mata pun menggenang di pelupuknya. Buru-buru kuusap karena tak ingin merusak suasana kebersamaan malam itu.

"Maaf, Dila jadi cengeng begini," ucapku sambil tertawa kecil.

"Nggak apa-apa, Dil. Itu hal wajar kok." Mama Feni menimpali.

"Kadang Dila berpikir, ingin tinggal di rumah itu lagi. Hidup dengan kenangan bersama Umi dan ... Bang Mizan."

Seketika, ruangan menjadi hening. Apaagi volume televisi sudah dikecilkan oleh Nindya.

"Kamu nggak kerasan tinggal di sini?" Raut Mama Feni terlihat kaget.

"Kak Dila kesal ya aku gangguin terus?" Nindya yang diam sejak tadi, ikut bicara. "Atau karena digangguin Bang Reza?"

Aku menggeleng dengan cepat. "Bukan, bukan karena itu, Ma, Nin! Dila senang kok tinggal di sini. Karena di sini, Dila memiliki keluarga lagi. Tapi—”

"Kamu boleh keluar dari rumah ini kalau kamu sudah menikah," potong Mama Feni tegas. "Selama kamu belum menikah, kamu harus tetap bersama Mama di sini."

Aku terdiam, sedikit menunduk.

"Suruh saja dia menikah dengan Pak Guru Ramzi itu, Ma! Dengan demikian, dia bisa keluar dari rumah ini."

Celetukan Reza terdengar bernada sinis. Saat kuangkat wajah dan melayangkan pandangan padanya, dia langsung membuang muka.

"Aku rasa mereka akan cocok. Aku sering memperhatikan mereka saat berinteraksi di sekolah."

Aku mengernyit mencerna kata-kata Reza. Memperhatikan aku dan Ramzi? Di sekolah?

"Abang sering ke sekolah Kak Dila?" tuduh Nindya, menatap abangnya dengan dahi berkerut.

"Iya."

Tak kusangka dia akan  menjawab secepat dan setegas itu.

"Aku sering datang ke sekolah Dila waktu lelaki itu masih mengajar di sana. Diam-diam, aku memperhatikan gerak-gerik mereka. Bukan apa-apa. Cuma memastikan kalau lelaki itu memang baik untuk Dila." Reza beralih memandangku.

Sesaat, tatapan kami beradu. Beberapa detik, kualihkan pandangan ke Mama Feni yang tampak bergeming.

"Abang kayak kurang kerjaan aja!" cecar Nindya sengit.

"Dila itu udah kayak keluarga kita 'kan? Sama kayak kamu. Aku udah anggap dia adik sendiri."

Lagi-lagi aku dikejutkan oleh pernyataan Reza. Lantas, pernyataan cintanya pagi itu artinya apa? Main-main saja?

Meniti Cinta Kedua (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang