Bagian 34

198 13 0
                                    


"Dila! Kenapa pintu kamarmu dibuka lebar-lebar gini? Kalau Reza tiba-tiba pulang dan lihat kamu nggak pake jilbab gitu gimana?"

Omelan Mama Feni membuat aku yang sedang termenung di depan jendela kamar pun terkejut dan langsung menoleh ke arah pintu. Ini adalah sore hari ketiga istikharahku.

"Eh, iya, Ma. Dila lupa." Aku melangkah ke arah ranjang dan duduk di pinggirnya. Sementara Mama Feni memilih duduk di kursi meja kerjaku setelah sebelumnya menutup pintu.

"Kamu ada masalah?" Beliau menatapku. "Mama perhatikan akhir-akhir ini kamu sering melamun."

"Enggak, Ma." Aku menggeleng sembari tersenyum tipis.

"Lantas, kenapa kamu seperti orang bingung begitu? Sampai-sampai pintu kamar nggak ditutup. Mama nggak yakin kamu nggak ada masalah."

Ah, memang feeling seorang ibu itu kuat sekali, ya? Susah untuk menutupi sesuatu dari mereka. Apa iya, aku harus jujur dengan kegelisahanku?

"Kamu udah nggak percaya sama Mama?"

Mama Feni membuatku merasa terdesak. Mungkin tidak ada salahnya aku mencoba mengungkapkan apa yang mengganjal di hati dan pikiranku saat ini.

Kuhela napas dan mengembusnya perlahan sebelum merangkai kata-kata yang sekiranya tidak membuat hati beliau tersakiti.

"Ma ... Dila mau bilang sesuatu, tapi Mama jangan marah dan jangan salah paham dulu, ya?" pintaku hati-hati.

"Belum bilang apa-apa gimana Mama mau marah?"

Hening. Kami tidak bersuara selama beberapa detik.

"Ma, kalau ... kalau misalnya ... Dila memutuskan untuk tidak jadi menerima Bang Reza, apakah Mama marah?"

"Alasannya apa? Bukankah dia sedang berusaha memenuhi syarat yang kamu ajukan?"

"Iya, Ma. Cuma ...." Aku bingung bagaimana menjelaskannya.

"Kamu punya calon lain?"

Aku tersentak, spontan menatap Mama Feni.

"Nggak usah kaget begitu. Mama sudah memperhatikanmu sejak kamu dari kajian waktu itu."

Tak lagi kuasa menatap wajah Mama Feni, aku pun menunduk.

"Mama tidak akan memaksamu menerima Reza jika kamu merasa ragu. Jika memang ada pria yang lebih baik dari dia, kamu boleh terima lelaki itu. Mama juga sadar, Reza tidak sama seperti Mizan. Dia ilmu agamanya belum seberapa. Jadi, kamu nggak perlu merasa nggak enak hati. Pilihan ada di tanganmu, Dil. Tidak seorang pun yang berhak memaksamu untuk memilih siapa pun sebagai pendamping hidup."

Kembali kuangkat kepala, menatap Mama Feni yang tengah tersenyum. Senyum yang terlihat getir di mataku.

"Tapi, Ma ... Bang Reza ...."

"Biar Mama yang menjelaskan padanya!" potong Mama Feni. "Kamu nggak usah mikirin itu. Kami semua menyayangi kamu dan berharap kamu bisa bahagia dengan siapa pun lelaki pilihanmu."

"Maaa ...." Mataku menggenang, bulirnya jatuh perlahan.

Mama Feni bangkit dari duduk, beliau mendekat dan memelukku. Isak tangisku pecah dalam dekapan hangatnya.

"Kenapa menangis? Kamu berhak bahagia setelah apa yang kamu lalui, Dil. Tidak perlu merasa bersalah," ujar beliau setengah berbisik.

Ya, Allah! Mama Feni begitu tulus. Sejahat inikah aku? Seegois inikah aku?

***

Tidak ada yang berubah di rumah itu. Semua berjalan seperti hari-hari sebelumnya, sehangat biasa. Bahkan Reza pun tidak menunjukkan perubahan sikap. Apa Mama Feni belum memberitahunya? Lalu Nindya? Apa kata anak itu jika tahu tentang ini? Akankah dia membenciku?

Sementara itu, aku masih sering mendengar Reza murajaah di ruang tengah saat tengah malam atau pada waktu menjelang subuh. Aku heran kenapa dia masih melakukannya. Apakah Mama Feni memang belum mengatakan apa-apa padanya? Jika sudah, dia tidak seharusnya memaksakan diri lagi untuk memenuhi permintaanku.

Tentang Salman, aku sudah mengatakan pada Ustazah Hana untuk taaruf dengan lelaki itu. Ya, minggu depan, kami akan dipertemukan.

Aku belum berani bercerita tentang Salman pada Mama Feni. Mungkin nanti, setelah proses taaruf selesai.

[Jangan salah pilih lagi. Lihat dan kenali betul-betul siapa lelaki itu. Aku ikut bahagia jika kamu sudah bertemu dengan orang yang tepat. Jadi, aku tidak perlu lagi mengkhawatirkanmu]

Barisan pesan itu kuterima dari Reza, ketika aku baru saja selesai shalat Isya dan memeriksa beberapa pesan masuk di aplikasi WA.

Entah harus bahagia atau merasa bersalah, tetapi aku lega. Artinya Reza sudah tahu dan dia berlapang dada menerima keputusanku.

[Aku minta maaf]

Kalimat tersebut aku ketik begitu saja.

[Kamu nggak salah dan tidak ada yang salah di sini. Semua sudah ada jalannya masing-masing. Jalani saja apa yang ada di hadapanmu. Kamu nggak punya tanggung jawab apa pun terhadap aku, Mama maupun Nindya]

Tenggorokanku seketika tersekat. Reza bisa sebijak. Begitu dalam ketulusan yang tersirat dari kalimat-kalimatnya.

Ya, Allah, sudah benarkah jawaban istikharahku ini? Kenapa aku tiba-tiba jadi ragu? Ah, tidak! Aku yakin kalau ini adalah keputusan tepat.

Aku pun mengusir rasa ragu yang tiba-tiba berbisik. Keputusan yang sudah diambil tidak bisa diubah kembali. Aku harus terus melangkah dan yakin dengan semuanya.

***

Kutelan saliva dengan susah payah demi mengingat proses taaruf yang telah berlangsung tadi siang di rumah Ustazah Hana. Awalnya, aku sangat bahagia menikmati setiap pertanyaan dan pernyataan Salman. Di mana aku merasa kalau Salman adalah lelaki yang benar-benar pas dengan keinginan. Bahkan dia tidak melarangku untuk terus mengajar. Namun, satu hal yang membuat hatiku seketika dirundung rasa ragu. Dia bilang, setelah menikah denganku, jika dalam enam bulan atau paling lama satu tahun aku belum hamil, maka dia akan menikah lagi.

Ustazah Hana dan Ustaz Syukri pun tampak terkejut dengan pernyataan Salman. Bahkan Ustaz Syukri sudah memberinya wejangan bahwa anak adalah hak mutlak milik Allah. Sayangnya, lelaki itu tidak goyah dengan pendiriannya.

"Ini permintaan mama saya yang ingin segera punya seorang cucu. Sebagai anak, tentu saya harus patuh pada beliau." Begitu alasannya yang tidak bisa diganggu gugat.

"Maafkan saya, Dila. Saya nggak nyangka kalau Salman begitu," sesal Ustazah Hana dengan raut wajah yang tidak bisa kugambarkan. "Jika kamu tidak siap dipoligami dan pernikahan itu akan menjadi beban buatmu, sebaiknya kamu tolak saja. Saya mendukung sepenuhnya atas apa pun keputusanmu setelah taaruf ini."

Tangisku pecah. Apa karena aku terlalu berharap penuh? Apa mungkin karena keputusanku terlalu terburu-buru dan dipenuhi nafsu saja? Ya, Allah! Ujianmu kembali menyapaku. Aku terlalu terburu-buru mengambil keputusan. Aku yang menganggap diri sempurna sehingga aku merasa pantas mendapatkan lelaki yang kuanggap mampu mengimbangi kesempurnaanku.

Astaghfirullaahal'adzhiim! Betapa malunya aku pada Mama Feni, Reza dan juga Nindya jika mereka tahu apa yang terjadi. Aku telah menolak Reza demi Salman. Rasanya aku ingin pergi saja dari rumah mereka.

***

Jangan lupa vote dan komen ya, Readers 🤗
Terima kasih 💜

Meniti Cinta Kedua (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang