Bagian 8

573 44 1
                                    

"Kak Dila!"

Aku terkesiap saat Nindya menyentuh lenganku. "Eh, iya, Nin."

"Kak Dila, ngelamun?"

"Ah, enggak. Yuk, kita masuk!" ajakku seraya menarik tangannya.

"Kakak pasti heran ngeliat sikap Bang Reza, ya?" tebak Nindya.

Kutanggapi dengan senyuman saja.

"Nggak usah dipikirin kalau Bang Reza, sih, Kak. Dia memang suka bertingkah aneh. Aku aja yang jadi adiknya, sering gagal paham sama dia."

Andai Nindya tahu, kalau aku sudah sering mendapatkan kelakuan absurd abangnya.

"Eh, tapi, dia orangnya perhatian banget. Suka mengingat hal-hal kecil tentang orang-orang yang dia sayangi. Contohnya saja ini, dia nggak pernah lupa kalau Kak Dila suka sama sesuatu yang berbau cokelat." Nindya menunjuk kantong plastik yang kupegang.

Dahiku berkerut. Orang-orang yang dia sayangi?

"Bang Reza sayang banget sama Kak Dila."

Ungkapan Nindya sontak membuatku nyaris pingsan di tempat. Aku mencoba memastikan bahwa aku tidak salah dengar. "Sayang? Sama ... Kakak?"

Nindya mengangguk dengan senyum semringah. "Iya. Sayang banget dia sama Kak Dila. Aku tahu persis akan hal itu."

"Jangan ngelantur kamu, Nin!" tudingku, seraya menutup pintu dan menguncinya kembali. Kuajak Nindya ke ruang tengah dan menyuruhnya duduk di sana.

"Aku nggak lagi ngelantur, Kak. Aku serius. Bang Reza memang sayang sama Kakak." Nindya menegaskan. Lalu, dengan santainya dia meraih remot televisi dan menyalakannya. Nindya seperti lupa telah mengatakan sesuatu yang membuat satu sisi hatiku bergetar halus.

Kutelan ludah yang terasa menyekat di tenggorokan. Lalu, berjalan menuju ruang makan, yang menyatu dengan dapur, untuk menyeduh secangkir teh buat Nindya. Pemberian Reza kutaruh di meja. Ternyata di dalamnya ada biskuit cokelat premium dan beberapa batang cokelat silverqueen. Aku hanya bisa tersenyum dan geleng kepala, membayangkan jumlah uang yang dikeluarkan Reza hanya untuk membeli camilan itu.

Saat menyeduh teh, pikiranku tertuju pada kalimat Nindya tadi. Benarkah Reza sayang padaku? Sayang seperti apa? Hanya sebagai adik saja, kan? Ya, pasti hanya adik. Tidak mungkin lebih. Aku tidak boleh terlalu percaya diri dalam mengartikannya. Lagian, mana mungkin Reza punya perasaan itu padaku. Di matanya, aku ini perempuan gendut, gembul, jelek dan enggak bisa dandan. Intinya, aku bukan tipe Reza.

Kuhela napas dan mencoba menyingkirkan pikiran tak bermanfaat tersebut. Lalu, membawa dua cangkir teh ke ruang di mana Nindya sedang cekikikan sendiri menonton kartun yang kebetulan adalah favoritnya.

"Kamu sudah sarapan, Nin?" tanyaku, setelah menaruh teh di meja. "Kalau belum, kira-kira kamu mau makan apa?"

Nindya menolehku dan menyengir. "Kebetulan belum, Kak. Tapi tenang, aku barusan sudah chat Bang Reza untuk membelikan lontong sayur."

"Lho? Kenapa malah minta belikan Bang Reza? Kamu ini lagi di rumah Kakak, jadi Kakak yang seharusnya menjamu kamu," omelku.

"Eh, jangan marah dulu, Kak!" larang Nindya. "Aku diwanti-wanti Bang Reza sebelum ke sini agar jangan ngerepotin Kak Dila."

"Ngerepotin apanya?"

"Pokoknya, kata Bang Reza aku nggak boleh minta ini itu yang bikin Kakak repot. Termasuk menyediakan sarapanku. Jadi, kalau aku butuh apa-apa, aku disuruh chat dia aja," jelas Nindya.

Aku mengerjap menatap Nindya. "Sebegitunya?"

Nindya mengangguk. "Iya, Kak."

Gadis yang terlihat begitu manis dengan pasmina hijau mudanya, kembali mengalihkan pandangan ke arah televisi. Aku pun duduk di sisinya dan ikut menikmati suguhan salah satu stasiun TV tersebut. Sambil menonton, kami juga saling bertukar cerita. Nindya anak yang asyik diajak membahas apa saja. Selain cantik, dia juga sangat pintar.

Meniti Cinta Kedua (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang