Bagian 14

477 40 3
                                    

"Wah, repot-repot sekali, Kak Dila. Padahal, kami mau beli sarapan lho," kata Ari sungkan.

"Nggak apa-apa. Sebagai ucapan terima kasih dari Umi," sahutku. "Eum, Bang Reza sudah sadar, kan?"

"Sudah, Kak. Dia sudah bangun. Sekarang sedang di kamar mandi. Kami sudah berikan air jahe hangat buat dia."

Aku mengangguk-angguk. "Syukurlah. Sekali lagi, makasih banyak atas bantuan kalian."

"Sama-sama, Kak Dila."

"Ya, sudah. Kakak balik dulu, ya? Mau ngajar," pamitku.

"Iya, Kak, silakan!"

"Oh, ya, ini tolong berikan HP dan kunci mobilnya," imbuhku seraya menyerahkan dua benda tersebut pada Ari.

"Baik, Kak."

Setelahnya, aku pun segera meninggalkan teras kos untuk kembali ke rumah. Tugasku sudah selesai. Selanjutnya, terserah si Reza itu saja.

"Dila!"

Baru hendak mencapai pintu pagar halaman rumah kos, terdengar suara Reza memanggilku. Aku menjeda langkah dan menoleh. Pria itu tampak berjalan mendekati. Sepertinya dia baru habis mandi. Terlihat lebih segar dengan rambut basah walaupun masih dengan baju yang sama. Kalaupun Ari atau Hendra meminjamkan baju mereka, pasti tidak akan muat. Postur tubuh dua mahasiswa itu kecil dan kurus, sedangkan Reza berpostur tinggi tegap.

"Sudah sadar?" tanyaku sinis, begitu jarak kami hanya berkisar satu meter.

Reza mengusap tengkuk, memandang ke sembarang arah. Dia seperti menghindari tatapanku.

"Abang kenapa sampai terjerumus sejauh ini? Atau jangan-jangan, ini bukan yang pertama kali?" tuduhku.

"Enggak, Dil. Ini ... ini baru pertama kali. Aku ...." Reza seperti tidak tahu harus menjelaskan apa padaku.

"Abang nggak mikirin dampaknya buat diri Abang, buat Mama, Nindya? Bagaimana kalau mereka tahu Abang seperti ini? Aku nggak bisa bayangin kecewanya mereka terutama Mama." Aku terus saja mencecarnya.

"Dan Abang harus tahu bahwa dalam satu hadis riwayat Ath-Thabrani dikatakan, *Khamar adalah induk berbagai macam kerusakan. Siapa yang meminumnya, shalatnya selama 40 hari tidaklah diterima. Jika ia mati dalam keadaan khamar masih di perutnya, berarti ia mati seperti matinya orang jahiliyah."

Reza menatap dan aku memalingkan wajah darinya.

"Aku khilaf, Dil," ucapnya pelan. "Aku khilaf dan aku janji nggak akan mengulanginya lagi. Kamu bisa pegang janjiku, Dil!"

"Tidak ada gunanya berjanji padaku. Berjanjilah pada Allah dan diri Abang sendiri. Bertaubatlah sebelum terlambat! Mudah-mudahan Allah mengampuni Abang." Aku menghela napas. Rasa sesak di rongga dada datang tiba-tiba karena emosiku tertahan pada pria di hadapan.

"Aku balik dulu. Mau ngajar."

Setelah berkata demikian, aku memutar tubuh hendak meninggalkan Reza.

"Tolong, jangan sampai Mama atau Nindya tahu soal ini!" pintanya.

Aku urung melangkah, lalu menolehnya. Reza menangkup kedua tangan di dada, seperti sedang memohon.

"Aku juga minta tolong satu hal. Tolong, jauhi Helen!" Aku meminta dengan penegasan. Setelahnya, aku benar-benar melangkah meninggalkannya. Waktu semakin bergulir dan aku tidak mau terlambat ke sekolah gara-gara mengurus pria itu.

***

"Hei, ngelamun aja!"

Aku terlonjak kaget saat Neni menepuk pelan pundakku.

Meniti Cinta Kedua (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang