Bagian 32

213 17 0
                                    


"Kamu udah telepon ke sekolah?" Pertanyaan Mama Feni meluncur saat aku sedang membalas chat dari Neni, di ruang tengah.

"Sudah, Ma." Aku tersenyum sembari memandang Mama Feni yang duduk di sofa single.

"Kamu kena SP?" Raut Mama Feni tampak penasaran.

Aku menggeleng. "Alhamdulillaah, enggak, Ma. Dila ceritakan saja apa adanya. Yaaah, walau absen Dila tetap merah hari ini. Tapi, ini juga baru pertama kalinya dan pihak sekolah masih menoleransi."

"Alhamdulillaah, syukurlah. Mama ikut lega mendengarnya."

Kami lalu terdiam. Hanya terdengar suara televisi yang tengah menayangkan acara kuliner nusantara. Kesempatan itu kumanfaatkan untuk menuntaskan obrolan dengan Neni di WA. Di luar, hujan kembali turun.

Kutaruh ponsel di meja. Mama Feni terlihat fokus pada acara televisi. Sesekali dia terlihat menyungggingkan senyum. Maklum, food vloger-nya rada kocak.

"Ma!" panggilku hati-hati. Aku takut jika mengganggu karena beliau sedang asyik menonton.

Mama Feni langsung menoleh padaku. "Ya, Dil? Kenapa?"

"Eumm ...." Ragu rasanya hendak mengutarakan sesuatu yang baru saja melintas di pikiran. Ya! Pertemuan dengan Helen tadi, membuat hatiku merasa tidak enak dan aku pikir ... aku harus berdiskusi dengan Mama Feni.

"Ada apa, Dil? Kok kayak ragu gitu? Ngomong aja sama Mama apa yang ingin kamu katakan. Nggak usah sungkan!" Mama Feni terdengar sedikit mendesak.

"Itu, Ma ... soal ... Kak Helen, Ma." Aku bicara agak terbata-bata.

Dahi beliau tampak mengerut. "Kenapa dengan Helen?"

"Menurut Dila ... sebenarnya Bang Reza lebih cocok sama Kak Helen." Aku merasa gugup setelah mengucapkan kalimat itu. Entah mengapa.

"Oh, ya? Bagaimana bisa kamu menilai demikian?" Kali ini Mama Feni tersenyum tipis. Beliau menatap dengan saksama, seolah tak sabar mendengar jawabanku.

"Yaaah, secara mereka udah mengenal sejak lama. Tentu sudah saling memahami tabiat dan sifat masing-masing. Pasti akan lebih mudah bagi mereka untuk bersatu. Apalagi ... mereka masih sama-sama lajang, Ma," jelasku panjang lebar. "Lagian, dari segi fisik, mereka sangat sepadan." Aku menambahkan sebaris opini.

Mama Feni tertawa, menampakkan deretan giginya yang begitu sehat terawat.

"Kok Mama ketawa? Ada yang lucu ya, Ma, dari kata-kata Dila?" Aku menyengir.

Beliau menggeleng. "Nggak ada yang lucu, tapi aneh. Opini kamu itu, lho! Kayak anak kecil."

Aku terdiam.

Mama Feni bangkit dan berpindah duduk ke sampingku. Beliau menatapku begitu lekat. Garis senyum tak lepas dari bibirnya. Hangat jemarinya perlahan menggenggam tanganku.

"Dila, kamu itu lagi mikir apa, sih?"

Menunduk, hanya itu yang kulakukan.

"Secara nggak langsung, kamu tengah membanding-bandingkan diri kamu sama Helen. Padahal, kamu dan Helen itu jauh berbeda. Mama sudah tahu siapa kamu. Jadi, nggak ada yang bikin Mama ragu untuk menjadikan kamu menantu Mama untuk yang kedua kali. Begitu juga dengan Reza. Dia nggak akan salah dalam memilih dan mengambil keputusan."

Perlahan, aku mengangkat wajah dan mata kami pun beradu pandang. Pancaran ketulusan dan kejujuran Mama Feni, terlihat dari sorot matanya.

"Helen memang masih lajang. Namun, Reza tidak suka sama dia. Pun dengan Mama. Yaaah, walau waktu itu Reza sempat bilang di depan kita kalau dia mau menikah sama Helen jika kamu menerima lamaran Ramzi. Namun, itu hanya sebagai ungkapan rasa cemburunya saja. Dia hanya berusaha menghibur dirinya kala itu karena merasa kalah dalam merebut hati kamu."

"Ma ...." Tak sadar, mataku berkaca-kaca.

"Dila, nggak ada yang harus kamu ragukan lagi tentang Reza. Soal Helen, tolong berhenti membicarakannya. Kamu fokus saja dengan aktivitas kamu. Biarkan juga Reza fokus menunaikan janjinya untuk kamu. Jangan rusak suasana dengan membawa nama Helen ke dalam kehidupan kamu maupun Reza. Lagian, kalau memang Reza mau sama Helen, sudah dari dulu mereka menikah. Kamu paham, kan, Sayang?"

Aku mengangguk pelan. "Maafkan Dila, Ma!"

"Iya, nggak apa-apa. Mama paham kok apa yang ada di pikiranmu."

***

Aku berusaha cuek meskipun rasa bersalah pada Helen menggelitik hati. Jika kami bertemu kembali, aku akan minta maaf karena telah mengingkari janji. Eh, tunggu! Bukan ingkar janji. Bukankah aku sudah berusaha menyampaikan dan membuat Helen beraatu dengan Reza? Namun, nyatanya Reza tidak menerima. Bahkan juga Mama Feni. Artinya, aku nggak salah. Ya, bukan salahku.

Jika pada akhirnya aku menerima Reza, itu karena Mama Feni. Bukan karena aku yang mulai menaruh hati pada lelaki tersebut.

Nanti, aku akan mencoba bertemu Helen dan menjelaskan semuanya. Bahwa semua tidak seperti yang dia pikirkan.

***

"Bang Reza!" panggilku, begitu melihat dia bergegas menuju mobilnya pagi itu. Tampaknya dia sedang terburu-buru.

Langkahnya terhenti dan langsung menoleh padaku. "Kenapa? Aku buru-buru, Dila."

"Boleh minta nomor telepon Kak Helen? Sepertinya dia mengganti nomornya. Soalnya tidak bisa dihubungi sejak beberapa hari belakangan."

Kulihat raut wajahnya berubah. Seolah tidak suka dengan permintaanku.

"Aku nggak punya nomor barunya," sahutnya ketus.

"Tapi, Abang 'kan temannya. Pasti tahulah, Bang. Nggak mungkin Kak Helen nggak ngasih tahu Abang." Aku mencoba bersikeras. Pasti terdengar memaksa dan sok tahu.

Dia terdiam. Sekilas menatap tajam padaku sebelum membuang pandangannya. "Sejak kamu menerima perjodohan kita, aku memutuskan untuk tidak mau tahu lagi dengannya. Aku sedang belajar menjauhi perempuan yang bukan mahramku. Karena apa? Karena aku ingin kita sepadan."

Aku termangu mendengar penuturannya sehingga tidak bisa berkata apa-apa lagi.

"Sudah. Aku buru-buru. Assalaamu'alaykum!"

"Wa'alaykumussalaam," jawabku pelan.

Rasanya masih tak percaya dengan apa yang Reza katakan. Namun, tidak mungkin itu sebuah kebohongan alias kata-kata gombal untukku. Karena pria sepertinya, aku rasa tidak pandai menggombal walau dia begitu absurd.

Teringat kalau aku pernah memergokinya sedang muraja'ah di ruang tengah, ketika semua penghuni rumah sedang tertidur lelap. Aku bisa mendengar dengan jelas kala itu Reza membaca surat Al-Fajr walau dengan makhraj dan tajwid seadanya. Namun, bukankah itu sudah menunjukkan kalau dia benar-benar serius?

***

Meniti Cinta Kedua (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang